Jumat, 01 Mei 2015

Karangan |

Cita-Cita itu Fiktif
Oleh : Faqih Sulthan
Sebagai penikmat kartun, cuma kartun Detektif Conan yang aku tunggu-tunggu. Aku masih ingat, kartun yang satu ini tayang di Indosiar sekitar jam sembilan setelah kartun Dragon Ball. Kartun Conan benar-benar mengubah masa kecilku. Waktu kalian masih bocah pasti pernah lari gaya Naruto, begitu juga aku yang berlagak bak detektif.
Pada suatu hari di tahun 2004, seperti biasa sebagai siswa SD yang baru naik kelas, wali kelas selalu membuat sesi perkenalan. Aku tak pernah lupa, saat kawan-kawanku menertawaiku karena memiliki cita-cita menjadi seorang detektif. Aneh memang, saat umumnya anak-anak bercita-cita menjadi guru, dokter, dan pilot. Aku justru berkhayal dewasa nanti menjadi detektif.
Aku sempat menyesal memilih cita-cita itu. Segala macam usaha aku lakukan untuk menemukan cita-cita lain. Tapi apa boleh buat aku rasa, aku benar-benar dilahirkan menjadi seorang detektif. Terlebih setelah tragedi hilanganya cincin ibuku yang berhasil aku temukan di dalam kaleng susu bubuk.
Setelah kejadian itu gairah seorang detektif mewarnai hari-hariku. Tak sedikit kasus yang berhasil kupecahkan dan berbuah pujian. Diantaranya hilangnya bekal sekolah, matinya kucing tetangga, dan bau busuk di loteng.
Sayang kisah ini berubah saat semua terlihat rasional. Ibuku memutuskan menjual komik Conan dan novel Sherlock Holmes milikku karena mengetahui hasil try out UAS SMPku yang mengecewakan.
Semakin ke sini, ada satu hal yang waktu itu sempat membuatku bingung. Apakah di Indonesia benar-benar ada detektif. Lalu masih pantaskah aku lanjutkan impianku menjadi seorang detektif.

0 komentar:

Posting Komentar