Cita-Cita itu Fiktif
Oleh
: Faqih Sulthan
Sebagai
penikmat kartun, cuma kartun Detektif Conan yang aku tunggu-tunggu. Aku masih
ingat, kartun yang satu ini tayang di Indosiar sekitar jam sembilan setelah kartun
Dragon Ball. Kartun Conan benar-benar mengubah masa kecilku. Waktu kalian masih
bocah pasti pernah lari gaya Naruto, begitu juga aku yang berlagak bak detektif.
Pada
suatu hari di tahun 2004, seperti biasa sebagai siswa SD yang baru naik kelas,
wali kelas selalu membuat sesi perkenalan. Aku tak pernah lupa, saat
kawan-kawanku menertawaiku karena memiliki cita-cita menjadi seorang detektif.
Aneh memang, saat umumnya anak-anak bercita-cita menjadi guru, dokter, dan pilot.
Aku justru berkhayal dewasa nanti menjadi detektif.
Aku
sempat menyesal memilih cita-cita itu. Segala macam usaha aku lakukan untuk
menemukan cita-cita lain. Tapi apa boleh buat aku rasa, aku benar-benar
dilahirkan menjadi seorang detektif. Terlebih setelah tragedi hilanganya cincin
ibuku yang berhasil aku temukan di dalam kaleng susu bubuk.
Setelah
kejadian itu gairah seorang detektif mewarnai hari-hariku. Tak sedikit kasus
yang berhasil kupecahkan dan berbuah pujian. Diantaranya hilangnya bekal
sekolah, matinya kucing tetangga, dan bau busuk di loteng.
Sayang
kisah ini berubah saat semua terlihat rasional. Ibuku memutuskan menjual komik Conan
dan novel Sherlock Holmes milikku karena mengetahui hasil try out UAS SMPku yang mengecewakan.
Semakin
ke sini, ada satu hal yang waktu itu sempat membuatku bingung. Apakah di Indonesia
benar-benar ada detektif. Lalu masih pantaskah aku lanjutkan impianku menjadi
seorang detektif.
0 komentar:
Posting Komentar