Khazanah Sastra Jawa
Karya sastra adalah karya yang imajinatif, baik karya lisan maupun
tertulis. Dewasa ini banyak sekali sastra yang
ada di Indonesia. Baik berupa sastra lisan maupun sastra tulis. Dari
masing-masing daerah yang ada di Indonesia juga memiliki sastra khasnya. Mulai
dari yang sudah dikenal banyak orang hingga yang belum diangkat ke masyarakat
umum. Pada makalah ini penyusun
akan menjelaskan bebrapa hal mengenai Sastra Jawa.
Di sini, penyusun akan mengulas segala sesuatu yang berkaitan dengan sastra
Jawa, baik dari segi sejarah, bentuk dan jenis, keunikan, tokoh, hingga contoh
kajian bentuk karya sastranya. Di dalam sastra Jawa sendiri sudah cukup
terkenal dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya di daerah Pulau Jawa dan
sekitarnya. Banyak sekali hasil karya sastra Jawa yang tersebar di Indonesia.
Latar belakang penyusun memilih topik mengenai “Sastra Jawa” karena
salah satu pemenuhan tugas mata kuliah Sastra Nusantara dan “Sastra Jawa”
memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh sastra-sastra di daerah
lain. Berdasarkan bahasa, Sastra Jawa terbagi menjadi empat yakni Sastra Jawa
Kuna, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Baru, dan Sastra Jawa Modern. Dari keempat Sasrtra Jawa tersebut, yang paling populer di masyarakat
saat ini adalah Sastra Jawa Modern. Hingga saat ini, Sastra Jawa Modern terus
berkembang dengan didukung oleh ratusan pengarang yang masih setia dan paraa
pembaca yang masih menikmatinya.
Kendati sudah
populer di kalangan masyarakat, Sastra Jawa sangat menarik untuk dikaji lebih
dalam. Kajian karya Sastra Jawa pun beragam macamnya. Bila dilihat dari minat
masyrakat, saat ini, masyarakat lebih cenderung mengkaji Sastra Jawa dengan
bahasan dari segi teori sastranya. Salah satu dari kajian tersebut adalah
kajian Puisi Singir oleh Moh. Muzakka, kajian mengenai karya Sastra Kuno yang
diabadikan pada Relief candi-candi abad ke-13 – 15 M, dan Studi Serat Sastra
Gendhing yang dikaji dari segi mistisme Islam Jawa.
Dari beberapa kajian yang ada, penyusun sangat tertarik dengan
keberagaman Sastra Jawa di Indonesia, di mana Sastra Jawa yang berkembang di
masyarakat saat ini sangat kental sekali dengan kebudayaan-kebudayaan Jawa
Kuno. Terlepas dari zaman yang sudah modern ini, sastra Jawa masih diminati
oleh beberapa masyarakat tertentu dan sangat menarik perhatian para peneliti
dan pengkaji di bidang sastra, termasuk penyusun sendiri. Diharapkan dengan
adanya pembahasan dan pengkajian mengenai Sastra Jawa ini, pembaca dapat
mengenal lebih dalam tentang Sastra Jawa. Terkhususkan bagi mereka, penduduk
asli di pulau Jawa agar masyarakat Jawa sendiri dapat mengenal, mengerti, dan
peka terhadap kebudayaan di daerahnya sendiri yang kini sudah sedikit yang
mengenal kebudayaan Jawa dan selebihnya bagi mereka penduduk luar pulau Jawa.
PEMBAHASAN
Batasan Tentang Kesusastraan
Wellek & Warren
(1993), menuliskan bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas,
juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang lain, sehingga orang
dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu,
atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada umumnya.
Secara etimologis, kata
sastra dalam bahasa Indonesia (dalam bahasa Inggris sering disebut literature
dan dalam bahasa Perancis disebut litterature) berasal dari bahasa
Sanskerta: akar kata ‘sas-, dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk atau instruksi”. Akhiran -tra, biasanya menunjukkan
“alat, sarana”. Jadi sastra dapat berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk,
buku instruksi atau pengajaran”. Kata lain yang sering dipergunakan ialah kata
susastra yang berasal dari kata sastra mendapat awalan su- yang berarti
“baik, indah”. Jadi kata suastra dapat berarti “sastra yang baik” atau “sastra
yang indah” yang dalam bahasa Perancis atau Inggris dipergunakan istilah belles-lettres.
Menurut Gonda kata susastra tidak dipergunakan dalam bahasa Jawa
Kuna, sehingga istilah susastra adalah ciptaan Jawa atau Melayu yang muncul
kemudian (Teeuw, 1984).
Batasan secara
etimologis tersebut, juga belum maksimal. Tidak semua alat untuk mengajar bisa
dikategorikan sebagai sastra, walaupun dalam arti sebaliknya, semua sastra
“dapat” dipergunakan sebagai alat untuk mengajar. Wellek & Warren (1993)
mencatat bahwa untuk mendefinisikan sastra ada beberapa cara, yakni sebagai
berikut.
1) Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau
tercetak. Pengertian ini seperti pengertian etimologis pada kata literature
(Inggris). Jadi ilmuwan sastra dapat mempelajari profesi kedokteran, ekonomi,
dsb. Dengan demikian seperti yang dikemukakan Edwin Greenlaw (teoritikus sastra
Inggris) bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk
dalam wilayah sastra. Demikian pula menurut banyak praktisi ilmu lain, sastra
bukan hanya berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan tetapi memang identik.
Dalam hal ini Wellek & Warren mengomentari bahwa akhirnya studi semacam ini
bukan studi sastra lagi. Studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan
cenderung menggeser studi sastra yang murni, karena dalam studi kebudayaan semua
perbedaan dalam teks sastra diabaikan. Bagi sastra Jawa, seperti halnya pada
banyak budaya lain, batasan seperti ini tidak menguntungkan karena Jawa
memiliki tradisi sastra lisan yang sangat kuat.
2) Cara lain untuk membatasi definisi pada sastra adalah membatasi pada
“mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap “menonjol
karena bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini kriteria penilaiannya
adalah segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di
antara puisi lirik, drama dan cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasarkan
pertimbangan estetis. Sedang buku-buku lain dipilih karena reputasinya atau
kecemerlangan ilmiahnya, ditambah penileian estetis dalam gaya bahasa,
komposisi, dan kekuatan penyampaiannya. Dalam hal ini sastra atau bukan sastra
ditentukan oleh penilaian. Di samping itu sejarah, filsafat dan ilmu
pengetahuan termasuk dalam sastra. Dalam Sastra Jawa Kuna dan sebagian Sastra
Jawa Modern, memang banyak karya sastra yang berisi ilmu pengetahuan atau
sejarah, namun sering dikategorikan sebagai karya sastra karena gaya bahasanya,
antara lain Negarakertagama (Jawa Kuna) dan karya sastra Babad (Jawa Modern)
yang sebagian besar berisi sejarah.
3) Menurut Wellek & Warren, pengertian sastra yang paling tepat
diterapkan pada seni sastra, yakni sastra sebagai karya imajinatif. Istilah
lainnya adalah fiksi (fiction) dan puisi (poetry), namun
pengertannya lebih sempit. Sedang penggunaan istilah sastra imajinatif (imaginative
literature) dan belles-latters (tulisan yang indah dan sopan) kurang
lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra, dinilai kurang cocok dan
bisa memberi pengertian yang keliru. Istilah Inggris, literature, juga lebih
sempit pengertiannya. Istilah yang agak luas pengertiannya dan lebih cocok
adalah istilah dari Jerman wortkuns dan dari Rusia slovesnost.
4) Cara lain yang dilakukan untuk memecahkan definisi sastra adalah melalui
kategorisasi bahasa. Bahasa adalah media yang dipergunakan oleh sastra. Namun
demikian sastra tidak memiliki media secara khusus, karena bahasa juga
dipergunakan sebagai media komunikasi oleh bidang keilmuan lain. Oleh karena
itu membatasi sastra dari segi bahasanya juga tidak sesederhana (Widayat, 2006).
Batasan sastra menurut
Plato, adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah
karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan
model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari
dunia ide.Aristoteles murid Plato memberi batasan sastra sebagai kegiatan
lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut kaum formalisme
Rusia, sastra adalah sebagai gubahan bahasayang bermaterikan kata-kata dan
bersumber dari imajinasi atau emosi pengarang. Rene Welleck dan Austin Warren,
memberi defenisi bahasa dalam tiga hal yaitu:
1) Segala sesuatu yang tertulis.
2) Segala sesuatu yang tertulis dan yang menjadi buku terkenal, baik dari
segi isi maupun bentuk kesusastraannya.
3)
Sebagai karya seni yang imajinatif dengan unsur
estetisnya dominan dan bermediumkan bahasa.
Sejarah Sastra Jawa
Berkaitan dengan Sastra Jawa maka secara praktis mengarah pada suatu bentuk
aktivitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai
dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa.
Pujangga adalah
predikat yang diberikan kepada seseorang yang telah menciptakan atau menggubah
suatu karya satra. Pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, Pujangga memeroleh
julukan Empu, sedangkan pada zaman Jawa-Islam, pujangga memperoleh julukan
Kyai. Itu sebabnya, mengapa dikenal nama Empu Tantular, Empu Prapanca, Empu
Seda dan Empu-empu yang lainnya. Dikenal pula nama Kyai Jasadipura dan Kyai
Ranggawarsito. Sebutan-sebutan Empu dan Kyai pada hakikatnya menyimpan konvensi
yang aktual dan berlaku pada era zaman masing-masing.
Perjalanan sastra
Jawa yang berlangsung sangat panjang telah banyak diwarnai oleh
pengaruh-pengaruh budaya asing yang datang ke tanah Jawa. Pengaruh budaya luar
yang paling menonjol dan turut mewarnai adalah budaya Hindu dari India, yaitu
pada zaman Renaisan Jawa I antara abad VIII sampai abad XV (masa Jawa Budha dan
Jawa Hindu); dan budaya Islam dari Arab, pada zaman Renaisan Jawa II antara
abad XVI sampai awal abad XX.
Pengaruh Sastra Hindu
dari India terhadap karya Sastra Jawa ditandai
dengan munculnya karya Sastra Jawa kekawin dan
kitab-kitab parwa. Karya ini banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta.
Akibatnya, banyak karya Sastra Jawa itu memuat
ajaran agama Hindu. Bangsa India menilai kitab-kitab Hindu itu suci karena
berisi ajaran religius seperti kitab Ramayana dan Mahabarata, mereka juga
menilai bahwa kitab-kitab mereka juga berlaku pada masyarakat Jawa. Bahkan
penamaan kitab-kitab sastra itu menunjukan penghormatan terhadap karya-karya
tersebut.
Sementara itu,
menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, sekitar abad ke-15 sampai dengan
abad ke-16 pengaruh agama Islam semakin meluas, sehingga muncullah karya-karya
sastra yang bernuansa Islam. Karya sastra Jawa yang asalnya dari karya Kakawin
menjadi sastra tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede. Pada era selanjutnya,
aspek historis dalam Sastra Jawa semakin kuat
dengan munculnya karya-karya babad (sastra sejarah) yang muncul pada
pertengahan abad ke-17. Karya sastra Jawa sebelum abad ke-19, sejak
kepujanggaan Yasadipura hingga Ronggowarsito kebanyakan berupa manuskrip.
Pada akhir abad
ke-19 sastra Jawa memasuki babakan baru sebagai pengaruh akibat budaya barat
yang mana berakibat munculnya karya sastra modern dari berbagai jenis sastra
atau genre sastra. Pengaruh tersebut bersamaan dengan berlangsungnya pendidikan
Eropa terhadap masyarakat Jawa. Pengarang sastra Jawa modern dipelopori oleh
kalangan pendidik atau guru seperti Mas Kuswadiharjo, Raden Mas Wiryasusastro,
Mas Reksatanaya, dan Mas Prawirasudirya. Pada masa itu karya sastra tersebut
dimaksudkan sebagai bacaan para siswa sekolah.
Sedangkan pada awal
abad ke-20, karya sastra Jawa banyak yang berupa fiksi. Akan tetapi, fiksi
tersebut masih terkesan mengutamakan pesan-pesan pendidikan. Pada abad itu pula
balai pustaka juga menerbitkan karya sastra dari kalangan non guru yang
biasanya ditulis oleh pegawai pamong praja yang karyanya antara lain, Serat
Panutan (Prawirasudirja), Rukun Arja (Samuel Martaatmaja), Kartimaya
(Adisusastra), Isin Ngaku Bapa (Prawirasudirja), dan Darma Sanyata (Raden
Ngabei Kartasiswaya).
Sastra Jawa
modern periode 1920 sampai dengan perang kemerdekaan memiliki kaitan sejarah
dengan periode sebelumnya. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai masa
pertumbuhan genre Barat ke dalam Sastra Jawa. Menurut Rass genre barat
masuk kedalam sastra Jawa sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa kedalam
masyarakat Jawa.
Selain itu
pemerintah kolonial secara perlahan-lahan berusaha mewujudkan sastra-sastra
Jawa melalui lembaga-lembaga, baik yang murni pemerintah maupun swasta.
Lembaga-lembaga ini amat berperan dalam usaha menyediakan bahan bacaan dan
pengembangan sastra Jawa. Sastra Jawa sejak tahun 1920 sampai dengan perang
kemerdekaan terus berkembang, hal ini ditandai dengan pengaruh dari sastra
barat dalam bentuk pengenalan genre baru.
-
Perkembangan Sastra Jawa
Dimulai
sejak jaman kraton Mataram Hindu, Budha, Medang, Kahuripan, Jenggala, Daha,
Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta.
Pada awal abad 20 sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat pengaruh dari
metrum-metrum kesusastraan yang berasal dari Barat. Untuk sejarah Mataram Islam
Graff (1987) telah menulis buku dengan judul “ Awal Kebangkitan Mataram
Masa Pemerintahan Senapati.”
Sastra
merupakan produk masyarakat Jawa yang sudah berusia sangat panjang. Kebudayaan
asli Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada paham animisme dan
dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama
Hindu-Budha yang berasal dari India. Kebudayaan India secara riil mempengaruhi
dan mewarnai kebudayaan Jawa, meliputi: sistem kepercayaan, kesenian,
kesusastraan, astronomi, mitologi, dan pengetahuan umum. Dalam hal ini Drewes,
1965. Telah menulis “De Drie Javaansche
Goeroc’s.”
Kesusastraan
adalah bagian dari kebudayaan, maka dengan kebudayaan India datang pulalah
kesusastraan India di Nusantara. Mulai pertama tahun Masehi di India
berkembanglah kesusastraan yang terutama berpusat kepada kitab-kitab suci
agama Hindu sesudah perkembangan agama Budha, yaitu kitab-kitab purana
(Wojowasito, 1967). Di samping Hinduisme ini berkembang pula lah agama Budha,
baik Mahayana, maupun Hinayana, dengan seluruh kesusastraannya. Tidak hanya
kesusastraan yang berhubungan dengan agama saja yang berkembang, tetapi
di samping itu terdapat pula karangan-karangan yang terutama mementingkan
indahnya bahasa, halusnya rasa, bagusnya irama. Selama inilah timbul sajak yang
terkenal bagusnya bagi bangsa India, yaitu yang disebut Kawya.
Dalam
abad ketujuh di Nusantara ada kerajaan besar yang sedang memuncak kekuasaannya
yaitu Sriwijaya di Sumatra dan Mataram di Jawa-Tengah. Kebesaran Sriwijaya
dapat dilihat dari adanya piagam-piagam yang terdapat dan dari berita-berita
orang Tionghoa, sedang kebesaran Mataram dapat dilihat dari bekas-bekasnya,
misalnya Borobudur, Kalasan dan Mendut. Kesusastraan pada waktu itu tentu
berkembang pula, karena dipusat kerajaan Sriwijaya diibukotanya ada
perguruan tinggi agama Budha, sedang pada Borobudur ada terpahat cerita
Lalitawistara.
Tetapi sayang sekali, bahwa tidak ada hasil
kesusastraan yang ketinggalan dari kedua kerajaan itu, yang tentunya akan besar
faedahnya untuk mengetahui corak kesusastraan pada waktu itu, jika kita dapat
mempelajarinya. Hal ini disebabkan, oleh karena kitab-kitab itu terbuat dari
bahan yang mudah rusak dan tidak dapat bertahan lama, lain halnya dengan
candi-candi yang terbuat dari batu. Berubahnya keadaan politik, disertai oleh
peperangan-peperangan, hancurnya keraton, kurangnya perhatian akan harga
atau nilai kebudayaan kuno semua itu menyebabkan dan mempercepat lenyapnya
hasil-hasil kesusastraan pada waktu itu. Kesusastraan Sumatra dan sekitarnya
termasuk pula Semenanjung Malaka hanya dapat dipelajari hingga permulaan abad
ketujuh belas dan itupun sangat sukarnya, oleh karena kurangnya kitab-kitab
yang dapat dipelajari. Bagaimana halnya dengan Jawa? Dalam bagian tentang
sejarah politik dalam kitab ini telah diketahui, bahwa pusat kerajaan berpindah
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Raja yang mula-mula didengar yaitu Empu Sindok
yang mendirikan dinasti yang dapat berlangsung hingga tahun 1222 ingat akan
Kertajaya.
Dengan berpindahnya keraton, berpindah pula
pusat perkembangan kesusastraan, karena harus diingat, bahwa keratonlah yang
pada waktu itu memelihara kaum pujangga. Kebiasaan itu masih dapat dilihat
hingga akhir abad 19 di keraton Sunan Solo. Pujangga-keraton daerah istimewa
kesunanan yang terakhir yaitu Ronggowarsito. Nama ini sangat terkenal dalam
lapangan kesusastraan di Solo. Maka berhubung dengan apa yang telah diuraikan
di atas sejarah kesusastraan bahasa Kawi Jawa Kuno ini berkisar pada perurutan
kekuasaan-kekuasaan sebagai berikut: kerajaan Sindok dan
pengganti-penggantinya.
Pemerintahan Udayana dan Airlangga di Bali.
Kerajaan Airlangga di pulau Jawa. Kerajaan-kerajaan Jenggala dan Kediri, Daha,
kerajaan Singasari, kerajaan Majapahit, kerajaan Samprangan Gelgel Bali dan
kerajaan Klungkung Bali. Sejak datangnya agama Islam perhatian kepada
kesusastraan kuno sangat berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Jadi
dengan lenyapnya kerajaan Majapahit dari Jawa Timur itu, lenyap pulalah kesusastraan
Kawi dari daerah itu. Untunglah ada Bali yang sejak bersatu dengan Majapahit
tetap menjunjung tinggi pusaka nenek-moyangnya dari jaman Majapahit hingga
sekarang. Dari Balilah didapatkan sebagian besar hasil kesusastraan jaman
pengaruh India hingga berakhirnya Kerajaan Majapahit, dan oleh karena
naskah-naskah itulah maka dapat diketahui sebagian besar perkembangan
politik di Nusantara hingga lenyapnya Majapahit. Studi sejarah Jawa Kuno secara
tertulis dimulai tanggal 25 Maret 804, dengan ditemukannya Prasasti Sukabumi
yang berbunyi: Pada tahun 726 penanggalan Saka, dalam bulan Saitra , pada hari
kesebelas paro terang , pada hari Haryang atau hari
kedua dalam minggu yang berhari enam, Wageatau
hari keempat dalam minggu berhari lima, Sanis cara atau hari ketujuh dalam
minggu yang berhari tujuh (Zoetmulder, 1985: 3). Keterangan ini amat berharga
berkaitan dengan validitas sumber penulisan historiografi lokal pada khususnya,
sejarah nasional pada umumnya.
Sejajar dengan kitab-kitab parwa dapat disebut
purana, yaitu Brahmandapurana. Purana itu mengambil contohnya dari kitab purana
di India dan menjadi milik kaum pendeta pedanda di Bali. Yang mendapatkan
kitab lontar Brahmandapudna di Bali yaitu Friederikh pada tahun 1849. Tetapi
baru pada tahun 1933 kitab itu diterbitkan dan diterjemahkan oleh Gonda. Gaya
bahasanya seperti parwa. Untuk memudahkan pemandangan, marilah dilihat
contoh sebagai berikut:
Hana sira maharaja Adisimakrsna ngaran
ira, siniwi ring Baratawarsa, mahasakti lituhayu mahardika gu-nawang tuwi.
Sadaraka ta sira, tan hana pada nireng buwana, wenang ta sira milangaken
kalengka ning buwana. Tatan hana musuh wanya pramuka paduka nira.
Artinya
: Adalah seorang maharaja Adisimakrsna namanya memerintah di Baratawarsa,
India, amat berkuasa, indah, budiman dan saleh. Ia adalah seorang yang amat
dihormati yang tiada taranya didunia, ia dapat menghancurkan noda dunia. Tiada
musuh yang berani berhadapan dengan baginda (Dr. Purwadi, 2009).
Macam-macam Bentuk dan Jenis Sastra Jawa
Sastra Jawa dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan bahasa dan
kategori isi. Berdasarkan Bahasa Jawa yang digunakan, Sastra Jawa dapat
dibedakan menjadi Sastra Jawa Kuna, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Baru, dan
Sastra Jawa Modern.
Sastra Jawa Kuna
Sebagian besar Sastra Jawa Kuna berbentuk kakawin (puisi) yang
menggunakan metrum India, tetapi terdapat juga yang berbentuk Parwa (prosa).
Bahasa Jawa Kuna sering disebut sebagai Bahasa Kawi, namun Bahasa Kwai hanya
berarti bahasa para Kawi, yakni para penulis Kakawin. Bahsa Jawa Kuna tidak
hanya digunakan dalam kakawin saja, tetapi juga digunakan dalam Parwa,
Sastra Jawa Kuna digunakan pada abad IX-XVII, atau pada masa kejayaan
kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yakni sejak Mataram Hindu sampai Majapahit.
Beberapa karya besar zaman Jawa Kuna antara lain:
-
Ramayana karya Yogiswara
-
Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa
-
Hariwangsa karya Mpu Panuluh
-
Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Panuluh
-
Gatotkacasraya karya
Mpu Panuluh
-
Krsnayana karya Mpu Panuluh
-
Smaradahana karya Mpu Dharmaja
-
Arjunawijaya karya Mpu Tantular
-
Sutasoma karya Mpu Tantular
-
Nagarakrtagama karya
Mpu Prapanca
-
Lubdaka/Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung
(Zoetmulder, 1985: 453) (Drs. Aloysius Indratmo, uns, 2009).
Sastra Jawa Tengahan
Sastra Jawa Tengahan digunakan sekitar abad XVI, atau pada masa akhir
Majapahit sampai dengan masuknya Islam ke Jawa. Karya Sastra Jawa Tengahan
sebagian besar dalam bentuk Kidung (Puisi). Kidung menggunakan metrum Jawa.
Beberapa karya Kidung antara lain:
-
Kidung
Harsawijaya
-
Kidung
Ranggalawe
-
Kidung
Sorandaka
-
Kidung Sunda
-
Wangbang Wideya
-
Sri Tanjung
(Zoetmulder, 1985: 532) (Drs. Aloysius Indratmo, uns, 2009).
Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Baru digunakan sejak masuknya Islam ke Jawa, dan semakin
berkembang pesat saat Kerajaan Demak berkuasa. Sastra Jawa Baru masih
meninggalkan sastra lisan, biasanya sering disebut sebagai Cerita Rakyat.
Sastra Lisan kebanyakan berkembang dalam tradisi masyarakat lokal bersama
foklor setempat. Sastra Jawa Baru yang tertulis sering disebut Sastra
Kapujanggaan, di mana kebanyakan sastra ini ditulis oleh para pujangga
kerajaan.
Selama abad
XVIII dan XIX dikenal tiga belas nama tokoh pujangga besar, termasuk di antaranya
dua raja Surakarta: PB II dan IV, seorang pangeran, dan dua adipati dari
Semarang (Margana, 2004: 133) (Drs. Aloysius Indratmo, uns, 2009).
Sastra Jawa Modern
R.Ng. Ranggawarsita dikenal sebagai pujangga terakhir Sastra Jawa. Setelah
kematiannya, berkembanglah Sastra Jawa Modern bersamaan dengan munculnya
penerbit dan surat kabar, seperti Penerbit Balai Pustaka (1917), Surat Khabar
Bromartani (1885), Surat Khabar Retnodumilah (1895), Surat Khabar Budi Utomo
(1920), dan lain-lain.
Pada periode ini, banyak karya berupa kisah perjalanan, misalnya Coriyos
Kekesahan Saking Tanah Jawi Dhateng Nagari Welandi tulisan RMA
Suryasuparta. Terdapat juga karya terjemahan dari sastra dunia, seperti Dongeng
Sewu Setunggal Dalu.
Sastra Jawa
Modern periode 1920 – 1945 sepenuhnya didukung oleh penerbit Balai Pustaka,
Majalah Panjebar Semangat. Novel pertama
diterbitkan tahun 1920 berjudul Serat Riyanto tulisan RM Sulardi.
Sejak tahun 1935 crita sambung mulai berkembang, diawali oleh cerita
bersambung karya Sri Susinah dengan judul “Sandhal Jinjit Ing Sekaten Sala”
(PS No. 44 Tahun III, 2 Nov 1935). Disusul kemudian dengan perkembangan crita
cekak yang dimulai oleh terbitnya karya Sambo yang berjudul “Netepi
Kuwajiban” (PS No. 45 Tahun III, 9 Nov 1935). Geguritan muncul agak
belakangan, yakni berjudul “Dayaning Sastra” karya R. Intoyo dalam
majalah Kejawen No, 26 tanggal 1 April 1941.
Sejak saat itu Sastra
Jawa Modern terus berkembang hingga saat ini dengan didukung oleh ratusan pengarang
yang masih setia. (Drs. Aloysius Indratmo, uns, 2009)
Jenis Sastra Jawa berdasarkan kategori isi, diantaranya:
1) Sejarah
`Teks Sejarah
mencakup segala macam babad yang menceritakan peristiwa historis dan
legendaris, sejak penciptaan dunia sampai dengan Perang Dunia I.
2) Silsilah
Banyak diantara teks sejarah juga mengandung penjabaran silsilah para
raja Jawa. Dalam bagian ini, hanya naskah yang secara eksplisit terfokus pada
silsilah yang termasuk.
3) Hukum
Teks berisi uraian tentang hukum, peraturan, dan adat-istiadat di
Keraton Jawa.
4) Bab Wayang
Teks yang termasuk dalam kategori ‘wayang’ ini kebanyakan dikarang dalam
bentuk prosa dan berisi pakem (ringkas atau lengkap) untuk lakon-lakon wayang
purwa, madya, goleh, gedhog, wong. Kategori ini jua mencakup tentang ruwat,
pedalangan, dan pembuatan wayang.
5) Sastra Wayang
Kebanyakan teks ini merupakan saduran langsung dari pakem wayang,
digarap dalam bentuk pembuatan wayang.
6) Sastra
Kategori ini yang paling luas di antara kategori yang dipakai dan paling
sulit untuk didefinisikan. Secara kasar, semua cerita yang digubah dalam bentuk.
Keunikan Sastra Jawa
Budaya
Indonesia banyak sekali jumlahnya, tiap wilayah akan memiliki budaya dan
kearifan lokal yang berbeda-beda. Perbedaan itu membuat Indonesia semakin
eksotis dimata dunia. Perbedaan itu membuat Indonesia semakin dewasa dan
bijaksana. Begitu pula dengan Jawa Timur, Provinsi paling timur di pulau jawa
ini memiliki keunikan tersendiri. Tentunya dalam hal kebudayaannya. Jawa Timur
memiliki sepuluh wilayah kebudayaan yang berbeda, uniknya ini dalam satu
provinsi yang sama.
Menurut Koentjaraningrat (1983)
tentang unsur kebudayaan, beliau menyatakan bahwa ada tujuh unsur dalam sebuah
kebudayaan secara universal. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut antara lain
adalah sistem religi, sistem organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem
mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem teknologi dan peralatan, bahasa,
dan kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan itu membuat Jawa Timur tebagi menjadi
sepuluh wilayah kebudayaan. Menurut Ayu Sutarto (2004) ada sepuluh wilayah
kebudayaan Jawa Timur yaitu Jawa Mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin (Sedulu
Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan
Madura Kangean.
-
Wilayah
kebudayaan Jawa Mataraman memiliki corak kebudayaan yang hampir sama dengan
yang ada di wilayah Yogyakarta dan Surakarta atau corak kebudayaan dari Kerajaan
Mataram. Pola kehidupan masyarakatnya juga sangat mencerminkan kehidupan
masyarakat jawa mataram. Bahasa yang digunakan masyarakat wilayah ini juga
sangat mataram, walaupun tingkat kehalusan berbeda dengan masyarakat yang ada
di Yogyakarta dan Surakarta, namun pada dasarnya mereka memiliki satu garis
leluhur yang sama. Cara bercocok tanam dan sistem sosial masyarakat jawa
mataraman juga tidak jauh beda dengan wilayah mataram di jawa tengah. Begitu
pula dengan selera kesenian yang sangat bercorak mataram, banyak jenis kesenian
seperti ketoprak, wayang purwa, campur sari, tayub, wayang orang, dan berbagai
tari yang berkait dengan keraton seperti tari Bedoyo Keraton. Wilayah yang
tercakup dalam Jawa Mataraman yaitu masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten
Ngawi, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan,
Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten
dan Kota Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan
Kabupaten Bojonegoro. Namun masih perlu dipertanyakan jika Lamongan dan
Bojonegoro termasuk dalam wilayah kebudayaan ini, karena dari segi bahasa
menurut saya sangat berbeda.
-
Wilayah Jawa
Panaragan merupakan masyarakat daerah Ponorogo. Wilayah kebudayaan disini
secara cultural terkenal dengan masyarakat yang sangat menghormati tokoh-tokoh
formal yang mereka kenal sebagai pangreh praja, tetapi tokoh-tokoh seperti
warok dan ulama juga menjadi tokoh penting dalam masyarakat Panarangan. Jenis
kesenian wilayah ini sangat terkenal di Indonesia bahkan dunia, serta sempat
diklaim sebagai kebudayaan sebuah negara di Asia yang secara garis kebudayaan
memang masih serumpun yaitu melayu. Jenis kesenian tersebut yaitu Reog
Ponorogo, juga beberapa kesenian lain seperti lukisan kaca dan tayub ponorogo.
Pada wilayah ini juga masih butuh penelitian lebih lanjut, mengapa daerah ini
tidak masuk dalam wilayah Jawa Mataraman? Melihat kondisi geografis wilayah ini
diapit oleh daerah dengan kebudayaan Jawa Mataraman, seperti Pacitan, Magetan,
Madiun, dan Kediri.
-
Wilayah Arek
merupakan wilayah kebudayaan yang cukup dikenal dan dapat dikatakan sebagai
ciri khas Jawa Timur. Masyarakat wilayah ini dikenal memiliki semangat juang
yang tinggi, terbuka terhadap perubahan masa, dan mudah beradaptasi. Bondo nekat
menjadi ciri khas komunitas ini. Perilaku tersebut bisa sangat positif hingga
munculnya sifat patrotik ya sangat luar biasa, namun bisa menjadi sangat
destruktif apabila tidak ada kontrol dari masyarakat itu sendiri. Surabaya dan
Malang menjadi pusat kebudayaan Arek. Kedua kota besar ini menjadi pusat
kebudayaan Arek karena kondisi sosial masyarakatnya yang begitu komplek dan
heterogen, bisa dikatakan menjadi pusat bidang pendidikan, ekonomi, dan
parawisata di Jawa Timur. Terutama pada kota Surabaya yang menjadi tempat yang
nyaman bagi segala kebudayaan yang datang bersinggah di Jawa Timur. Kesenian
tradisional (rakyat) yang banyak berkembang di sini adalah Ludruk, Srimulat,
wayang purwa Jawa Timuran (Wayang Jek Dong), wayang Potehi (pengaruh kesenian China),
Tayub, tari jaranan, dan berbagai kesenian bercoral Islam seperti dibaan,
terbangan, dan sebagainya. Sikap keterbukaan, egalitarian, dan solidaritas yang
tinggi membuat semua jenis kesenian bisa hidup di wilayah ini seni rupa
berbagai jenis, gaya, dan aliran mampu berkembang pesat di wilayah kebudayaan
Arek, begitu juga dengan seni kontemporer, sastra, tari, dan teater yang
menjadi warna tersendiri pada kebudayaan Jawa Timur. Wilayah kebudayaan Arek
meliputi Surabaya, Malang, Mojokerjo, Gresik, Sidoarjo.
-
Wilayah
kebudayaan Samin merupakan wilayah dengan populasi yang semakin sedikit
keberadaannya. Masyarakat Samin sangat unik, mereka paling anti dengan yang
namanya penjajahan dan bersikap jujur merupakan harga mati bagi mereka.
Masyarakat komunitas Samin menganggap manusia yang baik adalah manusia yang
kata dan perbuatannya sama. Wilayah kebudayaan Samin berpusat di Blora Jawa
Tengah, namun persebarannya hinggi mencakup Jawa Timur, yaitu Bojonegoro.
Wilayah ini masih butuh banyak penelitian-penelitian yang lebih akurat, karena
melihat kondisinya yang semakin tersingkir oleh jaman, sudah sepatutnya kita
turut menjaga dan melestarikan wilayah ini sebagai warisan leluhur yang tentu
sangat bermanfaat untuk membangun Indonesia dan Jawa Timur pada khususnya.
-
Wilayah
kebudayaan Madura pulau dikenal sebagai komunitas dengan keuletan dan
ketangguhannya. Jiwa penjelajahnya begitu terkenal hampir serupa dengan
masyarkat bugis dan minangkabau. Kondisi tanah yang kurang subur menyebabkan
mereka harus melakukan tindakan lain selain bertani. Garam menjadi komoditi
utama masyarakat Madura dalam bidang perekonomian. Agama Islam menjadi hal yang
paling mendasari mereka dalam bertindak dan bersikap. Seperti halnya Ponorogo,
kiai menjadi tokoh yang sangat berpengaruh dalam masyarakat. Sistem pendidikan
pesantren semakin membuat tokoh agama seperti kiai ini sangat berperan dalam
segala bidang kehidupan masyarakat Madura. Kesenian yang berkembang di wilayah
ini banyak diwarnai nilai Islam. Mulai dari tari Zafin, Sandur, Dibaan, Topeng
Dalang (di Sumenep), dan sebagainya. Karya sastra bernuansa Islam juga sangat
mewarnai kebudayaan masyarakat Madura. D. Zawawi Imron merupakan kiai sekaligus
maestro sastra Indonesia juga berasal dari pulau garam ini. Bahasa Madura
memiliki keunikan tersendiri di Jawa Timur. Ragam Bahasa Madura sangat berbeda
dengan apa yang ada kebanyakan di Jawa Timur. Masyarakat kebudayaan ini juga
berhubungan dengan masyarakat Madura Bawean dan Kangean yang pada dasarnya
merupakan kebudayaan Madura.
-
Wilayah
kebudayaan Pandalungan merupakan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir
pantai utara Jawa Timur Bagian timur, seperti Pasuruan, Probolinggo, Lumajang,
Jember, Sitobondo, dan Bondowoso. Sebagian besar masyarakat wilayah ini memilih
untuk bercocok tanam dan sebagai nelayan. Masyarakat wilayah ini sangat dipengaruhi
oleh budaya Madura. Corak Mataraman dan
Pandalungan mewarnai kesenian pada wilayah ini, dengan corak keislaman yang
begitu kuat dalam setiap kesenian yang ditawarkan. Ada hal unik dalam
kebahasaan masyarakat Pandalungan, apabila kita bertemu dengan kawan yang
berasal dari Pandalungan kita akan mengira mereka adalah orang Madura, terlihat
dari bahasa mereka, padahal mereka bukan orang Madura, bahasa mereka lebih
condong ke bahasa jawa, namun dengan dialek Madura yang sangat kuat. Mereka pun
tidak mau disebut orang Madura, karena mereka punya kebudayaan tersendiri,
walaupun masih mendekati kesamaan dengan wilayah Madura.
-
Wilayah
kebudayaan Osing merupakan wilayah yang cukup khas di Jawa Timur. Terletak di
daerah kabupaten Banyuwangi, terutama di wilayah yang berdekatan dengan Bali.
Masyarakat Osing begitu rajin dalam hal pertanian dan memiliki bakat seni yang
luar biasa. Kesenian masyarakat ini perpaduan budaya Jawa dan Bali, serta
pengaruh Pandalungan juga begitu terlihat karena mobilitas sosial wilayah ini
juga berhubungan dengan wilayah Pandalungan. Wilayah masyarakat Osing ada
kesenian Gandrung Banyuwangi yang begitu terkenal di Jawa Timur, sekaligus
Indonesia pada umumnya, lalu Kentrung, dan Burdah (Gembrung).
-
Wilayah
kebudayaan Tengger mencakup wilayah Tengger Bromo, Probolinggo. Masyarakat ini
sangat terkenal dengan tradisinya yang masih sangat terjaga. Nilai-nilai
kerajaan Majapahit masih sangat melekat dalam tiap tindakan masyarakat Tengger.
Animisme dan Hindu juga tetap hidup dalam wilayah ini. Ucapara Kasada merupakan
ritual adat yang paling terkenal di masyarakat Tengger. Bertani dan menikmati
hasil hutan merupakan objek bergantungnya kehidupan masyarakat Tengger.
Tokoh Sastra Jawa
1) Tokoh Sastra Jawa Baru
-
Pangeran
Adilangu II
Pangeran
Adilangu atau Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang juga dikenal
sebagai Pangeran Adilangu. Pangeran Adilangu II adalah pujangga semasa PB I
dari Kartasura. Karyanya adalah Babad Pajajaran, Babad Demak, Babad
Mentawis.
-
Carik Bajra
(wafat 1751)
Pada masa
mudanya ia bernama Sarataruna yang bekerja sebagai juru tulis di rumah
Tumenggung Kartanegara. Karena tulisan-tulisannya disukai Raja PB I, ia diminta
untuk menjadi juru tulis istana dan memperoleh gelar Carik Bajra. Karyanya
adalah Babad Kartasura dan Babad Tanah Jawi.
-
Raden Ngabehi
Yasadipura I (1729 – 1803)
R.Ng.
Yasadipura I lahir di desa Pengging. Ayahnya adalah Tumenggung Padmanagara,
seorang jaksa pada masa Kartasura. R.Ng. Yasadipura I adalah keturunan ke
delapan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Karya-karyanya
adalah: Tajusalatin, Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti, Sewaka,
Ambiya, Menak, Baratayuda (jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Arjunawiwaha (jarwa),
Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci
(jarwa), Babad Pakepung.
-
Raden Ngabehi
Yasadipura II (1756 – 1844)
R.Ng.
Yasadipura II adalah putra R. Ng. Yasadipura I. Ia memiliki beberapa nama lain,
yakni Raden Panjangwasita, R.Ng. Ranggawarsita I, dan Tumenggung Sastranagara.
Karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad XIX. Bersama-sama
dengan atahnya ia menulis beberapa babad dan menerjemahkan beberapa karya Jawa
Kuna. Ia diangkat sebagai pujangga kerajaan setelah ayahnya wafat. Ia juga
bekerjasama dengan Kiai Ranggasutrasna, Kiai Ngabehi Sastradipura, dan Pangeran
Adipati Anom Hamengkubuwana III (PB V) menyusun Serat Centhini.
Karya-karya
Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra atau Serat Lokapala,
Serat Darmasunya, Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama, Serat Ambiya, Serat
Musa, Serat Sasana Sunu, Babad Pakepung, Serat Wicara Keras, dan Serat
Centhini. Kemungkinan bersama CF Winter ia juga menggubah Serat
Baratayuda dan Serat Ramayana.
-
Raden Ngabehi
Ranggawarsita (18 Maret 1802 – 23 Desember 1873)
R.Ng.
Ranggawarsita adalah putra Raden Ngabehi Panjangswara atau Raden Ngabehi
Ranggawarsita II; atau cucu Yasadipura II. Nama kecilnya adalah Bagus Burhan.
Karya R.Ng. Ranggawarsita diperkirakan berjumlah enam puluh serat. Di
dalam beberapa karyanya R.Ng. Ranggawarsita menyamarkan namanya ke dalam sandi
asma. Beberapa karyanya juga memuat ramalan. Karya-karya yang banyak
dikenal masyarakat antara lain: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat
Sabdajati, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Jayengbaya.
2) Tokoh Sastra Jawa Modern
-
Ki Padmosusastra
Ki Padmosusastra mendapat julukan “Wong
mardika kang marsudi kasusastran Jawa” oleh Imam Supardi (Suripan, 1975: 8). Ki Padmosusastra lebih banyak menulis prosa
daripada puisi (tembang). Ki Padmosusastra juga menerbitkan karya-karya
pujangga sebelumnya. Beberapa karyanya antara lain: Rangsang Tuban, Layang
Madubasa, Serat Pathibasa.
-
RMA Suryasuparta
Pada periode inin, RMA Suryasuparta
menuliskan karya berupa kisah perjalanan, yaitu Cariyos Kekesahan Saking
Tanah Jawi Dhateng Nagari Welandi.
-
RM Sulardi
Karyanya berjudul Serat Riyanto, diterbitkan oleh Balai Pustaka,
Majalah Panjebar Semangat tahun 1920.
-
Sri Susinah
Karyanya merupakan cerita bersambung yang mengawali perkembangan cerita
bersambung pada tahun 1935 dengan judul “Sandhal Jinjit Ing Sekaten Sala”
(PS No. 44 Tahun III, 2 Nov 1935).
-
Sambo
Karyanya merupakan crita cerkak yang mengawali perkembangan crita
cerkak tahun 1935 dengan judul “Netepi Kuwajiban” (PS No. 45 Tahun
III, 9 Nov 1935).
-
R. Intoyo
R. Intoyo merupakan pujangga Sastra Jawa
Modern dengan karya sastra geguritan. Karyanya berjudul “Dayaning Sastra”
dalam majalah Kejawen No. 26. (Drs. Aloysius Indratmo, si. uns, 2009)
Contoh Kajian Bentuk Karya Sastra Jawa
1) Kajian Puisi Singir
Singir adalah salah satu jenis puisi Jawa yang terpinggirkan
keberadaannya. Puisi singir ini berkembang pesat di kalangan masyarakat
santri. Kehadiran singir telah membentuk perilaku masyarakat dalam
nuansa budaya yang berbeda dengan kelompok masyarakat Jawa awam dan masyarakat
Jawa sekitar keraton, yakni diberlakukannya singir sebagai sarana
pendidikan dan pengajaran nilai-nilai budaya islam.(kutipan)
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno, sedang penulisan teksnya
menggunakan tulisan Arab-Jawa (pegon).
Darnawi mengemukakan bahwa singir sama bentuknya dengan syair
dalam khazanah sastra lama yaitu terdiri dari emoat baris tiap baitnya,
bersajak aaa. Dan bersuku kata tetap tiap barisnya, umumnya tiap baris berisi
dua belas suku kata (1964:82). Contoh kutipan singir.
Sun miwiti anarik akaling bocah
Mbok manawa lawas-lawas bisa pecah
Bisa mikir bisa ngrasa bisa genah
Ngarep-arep kabeh iku min fadlilah
Wajib bapa aweh sandang mangan ngimel
Aweh arta sangu ngaji aja owel
Lan arep kasil ngilmu buwang sebel
Aja nganti ati atos amakiyel
(Singir Darma Wasana dalam Darnawi, 1964: 82-83)
Dari kutipan kedua singir di atas, didapat beberapa ciri-ciri
yaitu:
-
Tiap baris terdiri atas empat baris
-
Tiap baris terdiri atas 8-12 suku kata atau wanda
-
Bersajak sama (aa-aa)
-
Warna Arab-Islam cukup dominan
Namun berbeda halnya dengan contoh singir berikut yang merupakan singir
yang telah mengalami proses transformasi dari rubai ke matsnawi
yang disebabkan oelh bentuk puisi Arab yang berbentuk nazam. Nazam
adalah bentuk puisi Arab paling populer di pesantren tradisional.
Contoh singir matsnawi:
Pahesira kaya taat ora wenang
Riya syirik kudu murni maring lanang
Pahes ngedher kaya taat lawan liya
Taat syirik mitsal paes kerana liya
(Singir Nasehat Kanca Wadon, dalam Basuki, 1988: 38)
Contoh nazam:
Qala Muhammadun huwa ‘bnu Maliki
Ahmadu rabbiya ‘llahi khaira maliki
Mushalliya ‘ala ‘nnabiyyi ‘l-musthofa
Wa alihi ‘l-mustakmilina ‘sy-syarafa
(Alfiyah Ibnu Malik dalam Musthafa, 1407H: 2).
Sebagai puisi Jawa baru, singir juga memiliki perbedaan yang
sangat signifikan dibandingkan dengan puisi Jawa baru yang lain seperti tembang
macapat, parikan, maupun geguritan. Tembang macapat memiliki
ikatan dan struktur yang sangat rumit. Jenis puisi ini amat terikat oleh aturan
guru lagu (parokan bunyi akhir), guru wilangan (jumlah suku kata
tiap baris), jumlah gatra (baris sajak), serta harus mempertimbangkan purwakanti
guru swara (persamaan bunyi atau sajak), dan purwakanti guru sastra
(persamaan huruf mati atau sajak rangka). Di samping itu, jenis tembang amat
beragam dan masing-masing tembang memiliki patokan guru lagu, guru
wilangan, jumkah gatra dan karakter psikologis yang berbeda pula
(Darnawi, 1964:13-15 dari kutipan pak muzakka). Dalam singir, tidak
ditemukan hal seperti yang telah disebutkan di atas.
Muzakka (1999) dan Muzakka dkk. (2002) menemukan tiga fungsi utama singir,
yaitu fungsi hiburan, fungsi pendidikan dan pengajaran, dan fungsi spiritual.
Fungsi hiburan muncul karena hadirnya singir dalam khazanah sastra
selalu dinyanyikan baik dengan iringan musik tertentu maupun tidak; fungsi
pendidikan dan pengajaran munxul karena di samping singir mengekspresikan
nilai-nilai dedaktis, yakni pendidikan nilai-nilai moral Islam dan pengetahuan
Islam yang kompleks, singir juga digunakan sebagai bahan ajar dan atau
media pengajaran di kalangan masyarakat santri. Fungsi spiritual muncul karena
sebagian besar singir diberlakukan penggunaannya semata-mata sebagai
upaya penghambaan diri (ibadah) kepada Tuhan yakni untuk mempertebal
rasa keimanan dan ketakwaan. (Muzakka, 2010)
2) Karya Sastra Kuno yang Diabadikan pada
Relief Candi-candi Abad Ke-13 – 15 M
Pada dinding kaki candi-candi Hindu atau Buddha yang terdapat di Jawa
terdapat hiasan ornamental yang turut memperindah bangunan suci masa lalu
tersebut. Hiasan ornamental yang dimaksud dalam kajian ini adalah relief
naratif yang umumnya menggambarkan cerita keagamaan dan pendidikan. Namun ada
juga yang latar belakang ceritanya adalah kisah romantis atau bahkan sesuatu
cerita yang belum dikenal.
Kajian ini berupaya untuk menjelaskan masalah-masalah yang berkenaan
dengan pemahatan karya sastra Jawa Kuno ke dalam bentuk relief. Seni relief
masa Jawa kuno secara garis besar dapat dibagi dua gaya, yaitu (a) gaya Klasik
Tua (abad ke-8 – 11 M), contohnya relief-relief yang dijumpai pada candi-candi
di wilayah Jawa Tengah (relief cerita di candi Borobudur dan Prambanan), dan
(b) gaya Klasik Muda (abad ke-11 – 15 M), contohnya adalah relief-relief cerita
yang dipahatkan pada candi-candi zaman Singhasari dan Majapahit.
Ciri-ciri penggambaran relief
bergaya Klasik Muda adalah sebagai berikut:
-
Relief dipahatkan dalam
bentuk rendah (bas-relief), pengerjaan relief hanya pada ¼ dari ketebalan media
yang umumnya balok batu.
-
Penggambaran figur
manusia, hewan, dan tumbuhan bersifat simbolis, artinya tidak seperti apa
adanya (naturalis). Penggambaran figur kerapkali tidak proporsional, kaku,
bahkan sangat mirip dengan wayang kulit.
-
Tokoh-tokoh selalu
digambarkan menghadap ke samping, sebagaimana layaknya wayang kulit; keadaan
demikian lazim disebut dengan en-profile.
-
Adanya kecenderungan
untuk mengisi seluruh panil dengan berbagai bentuk lain di luar tokoh-tokoh
utama. Hal ini sering disebut dengan adanya horror vaquum pada gaya Klasik
Muda.
Adapun mengenai
isi/tema ceritanya, mempunyai ciri tersendiri pula, yaitu:
-
Cerita digambarkan
fragmentaris, tidak lengkap dari awal hingga akhir kisah.
-
Tema umumnya bersifat
roman percintaan, pelepasan dari derita, pertemuan dengan dewata, dan hanya
sedikit yang bersifat epos.
-
Acuan cerita tidak
semata-mata karya sastra dari sumber India (Ramayana dan Mahabharata) melainkan
ada juga sadurannya (misalnya Arjunawiwaha dan Sudhamala bahkan juga cerita gubahan pujangga Jawa Kuna
sendiri (seperti Sri Tanjung, Panji, dan Bhubuksah-Gagangaking). (Munandar, 2004)
3) Mistisme Islam Jawa dalam Serat Sastra Gendhing
Karya sastra yang
mengandung ajaran mistik sudah mulai berkembang di kawasan Nusantara sejak
kerajaan Demak. Simuh (1995:52-53) menyatakan bahwa isi karya sastra Nusantara
banyak diwarnai oleh pemikiran Abu Yazid al Bustami, Husen bin Mansur al
Hallaj, Ibn Arabi dan Muhammad Ibn Fadhilah. Sangidu (2004:67) menjelaskan
bahwa beberapa ulama Aceh mempunyai pengaruh signifikan dalam perkembangan
sastra mistik Jawa, diantaranya: Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nurrudin Ar
Raniri, dan Abdur Rauf al-Singkili. Di dalam struktur sosial kemasyarakatan
pada masa itu, empat tokoh ulama tersebut memiliki posisi dan peran strategis
karena mereka menjadi penasehat raja atau sultan.
Pemikiran Islam yang
tercermin dan tertuang dalam karya sastra di Jawa mengalami perkembangan yang
dinamis sesuai dengan perbedaan orientasi keagamaan serta perubahan tatanan
sosial dan sistem pemerintahan. Dalam buku Paradigma Sosiologi Sastra karya
Nyoman Kutha Ratna (2009: 77) dijelaskan bahwa genre karya sastra pada
dasarnya mengikuti perubahan struktur masyarakat, karena sastrawan adalah
seniman yang senantiasa berhubungan dengan institusi kemasyarakatan pada
zamannya. Perbedaan kecenderungan orientasi yang muncul pada
karya sastra Jawa ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain disebabkan
oleh letak geografis, sistem pemerintahan yang sedang berjalan, ideologi yang
berkembang di masyarakat, paham keagamaan dan sistem kepercayaan yang dianut
oleh penguasa dan masyarakat. Karya sastra yang berkembang pada masa kerajaan
Demak (sebagai salah satu contoh representasi kerajaan wilayah pesisiran) di
Jawa memiliki orientasi yang berbeda dengan sastra yang berkembang pada masa
kerajaan Mataram Islam (sebagai representasi dari wilayah pedalaman).
Salah satu serat yang
lahir pada masa kerajaan Mataram Islam adalah Serat Sastra Gendhing karya
Sultan Agung. Serat Sastra Gending merupakan karya sastra Jawa yang sarat
menggunakan bahasa simbolik. Pigeaud dalam bukunya yang berjudul Literature
of Java jilid II (1968: 701) menjelaskan Sastra Gendhing is ascribed to
Sultan Agung of Mataram on Muslim theology and mysticism and explanation of
cryptic in verse. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Serat Sastra Gendhing
merupakan serat yang menjelaskan dua disiplin ilmu yakni ilmu teologi
dan mistik Islam. Dua disiplin ilmu tersebut diuraikan dengan menggunakan gaya
puisi dalam bentuk macapat. Secara umum, Serat Sastra Gendhing
diungkapkan dengan menggunakan bahasa-bahasa simbolik. Bahasa simbolik ini
setidaknya bisa dilihat dari cara penulisnya memaknai kata sastra dan gendhing
sebagaimana tertulis dalam pupuh Dandhang gula pada ke-13. Dalam pupuh
tersebut Sastra diartikan sebagai Tuhan yang mencipta, sedangkan gendhing
adalah makhluk yang dicipta. Keberadaan gendhing tentu harus mengikuti
kehendak Sastra. Ketentuan tersebut dapat dipahami dalam penggalan pada 1
pupuh berikut ini :
marma sagung trah mataram,
kinen wignya tembang kawi,
jer wajib ugering gesang,
ngawruhi titining ngelmi,
kang tumraping praja di,
tembang kawi asalipun,
tan lya titining dumadi,
paugering dumadi,
nora ana kang liya tuduhing sastra
Artinya:
Maka semua rakyat Mataram
Disuruh mengetahui tembang kawi
Itu wajib patokan hidup
Mengetahui ilmu sampai tamat
Bagi kerajaannya
Tembang kawi asalnya
Tidak lain titisnya sastra
Pedoman hidup
Tidak ada lain petunjuk
sastra
Dalam menjelaskan
simbol-simbol dan kandungan isi yang terdapat dalam naskah Serat Sastra
Gendhing, peneliti menggunakan metode hermeneutik yang dikembangkan
Gadamer. Metode ini dianggap relevan untuk mengkaji naskah tersebut, karena ada
unsur jarak kultural yang terjadi antara penulis serat tersebut dengan dunia
pembaca sekarang, sebagai salah satu tuntutan metodologis. Secara metodologis,
kajian hermeneutik menekankan pada tiga aspek kajian yaitu aspek penulis, aspek
teks, dan aspek konteks (dalam Palmer, 2003: 31-33). Menurut Endraswara (2006:
43), pokok ajaran mistik Jawa mencakup tiga hal, yaitu sangkan paraning
dumadi, manunggaling kawula Gusti, dan memayu hayuning bawana. Tiga
hal ini merupakan falsafah hidup yang harus dijadikan pedoman umum bagi manusia
agar bisa menjaga keseimbangan batiniah seseorang.
Sangkan parning dumadi merupakan ajaran mistik Jawa di mana setiap manusia harus memahami
tentang asal usul kehidupan serta meyakini keberadaan Tuhan. Manusia yang
meyakini keberadaan Tuhan dan pandai bersyukur kepada-Nya pasti memiliki hati
yang mulia dan berperilaku dengan baik. Hal ini disebabkan adanya keyakinan
bahwa manusia akan kembali ke pangkuan Tuhan dan mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya semasa hidup di dunia.
Manungaling kawula
Gusti merupakan ajaran khas
orang Jawa yang mengajarkan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan apabila
dapat mengendalikan hawa nafsunya dengan cara menggunakan seluruh anggota tubuh
yang dimiliki secara benar dan jujur.
Sedangkan memayu
hayuning bawana merupakan ajaran orang Jawa agar menjaga kelestarian alam,
menjaga kedamaian hidup dengan sesama, menjaga keseimbangan, serta meninggalkan
perbuatan-perbuatan tercela yang bisa mengganggu kenyamanan hidup orang lain.
Manusia harus mengerjakan perbuatan terpuji dan meninghindarkan diri dari
perbuatan tercela (Bukhori, 2012).
Simpulan
Sastra Jawa merupakan bentuk sastra yang berkembang di daerah Jawa,
tepatnya di pulau Jawa. Sastra Jawa sendiri mulai berkembang pada abad IX-XVII
yaitu dengan ditandai adanya istilah sastra Jawa Kuno. Jenis-jenis sastra Jawa
dibedakan berdasarkan bahasa dan kategori isi. Dari faktor bahasa, kita bisa
mengenal istilah sastra Jawa Kuna, sastra Jawa Tengahan, sastra Jawa Baru, dan
sastra Jawa Modern. Sastra Jawa Kuno (abad IX-XVII) berkembang pada masa
kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa (Mataram Hindu sampai dengan Majapahit).
Beberapa dari karya besarnya adalah Ramayana, Arjunawiwaha, Hariwangsa, dan
lain sebagainya. Sastra Jawa Tengahan (abad XVI, masa akhir Majapahit sampai
masuknya Islam ke Jawa). Karyanya sebagian besar dalam bentuk kidung (puisi).
Sastra Jawa Baru dimulai sejak masuknya Islam ke Jawa. Karya yang terkenal
berupa sastra lisan yang berbentuk cerita rakyat, sedangkan sastra tulisnya
disebut dengan Sastra Kepujanggaan (banyak ditulis oleh pujangga kerajaan).
Sastra Jawa Modern ditandai dengan berkembangnya penerbit-penerbit dan surat
kabar, seperti Balai Pustaka (1917), Surat Khabar Bromartani (1885), dan lain
sebagainya. Karyanya banyak berupa kisah perjalanan.
Dari faktor kategori sendiri, dikenal beberapa istilah, diantaranya sejarah,
silsilah, hukum, bab wayang, sastra wayang, dan sastra, keunikan sastra Jawa
banyak dipengaruhi oelh kebudayaan dan adat istiadat dari daerah setempat.
Menurut Koentjoroningrat (1983) unsur kebudayaan terbagi atas tujuh unsur
secara universal, diantaranya adalah sistem religi, sistem organisasi
masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi,
sistem teknologi dan peralatan, serta bahasa dan kesenian. Dari ketujuh unsur
tersebut, dapat diperolehlah beberapa keunikan dari berbagai daerah di Jawa.
Dari tokoh sastra sendiri, banyak dikenal para pujangga ternama di
masanya. Di masa sastra Jawa baru, diawali dengan pujangga Pangeran
Adilangu/Kadilangu II. Beliau merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Di masa
sastra Jawa Modern, diawali dengan Ki Padmosusastra. Beliau mendapat julukan “Wong
mardika kang marsudi kasustran Jawa” oleh Imam Supardi. Karyanya lebih
banyak dalam bentuk prosa daripada puisi. Contoh kajian sastra Jawa yang
dibahas sendiri berupa Kajian Puisi Singir, Karya Sastra Kuno yang
Diabadikan pada Relief Candi-candi Abad ke-13 – 15 M, dan Mistisme Islam Jawa
dalam Serat Sastra Gendhing.
Untuk sastra Jawa yang berkembang hingga saat ini tak banyak masyarakat
yang mengenalnya. Namun masih terdapat beberapa peneliti-peneliti yang mengkaji
sastra Jawa Kuno, sastra Jawa Tengahan, sastra Jawa baru, serta sastra Jawa
Modern, karena keunikan yang dimiliki dari beberapa bentuk karya sastranya.
Walaupun begitu, minat masyarakat terhadap kebudayaan dan sastra Jawa masih
cukup banyak. Yaitu untuk karya sastra Jawa yang berupa puisi Jawa, cerita
rakyat, dan lain sebagainya.
Bukhori, Z. (2012, September 15). Eprints
Walisongo. Retrieved Maret 28, 2015, from Eprints Walisongo Web Site:
http://eprints.walisongo.ac.id/4/1/Zaenuddin_Bukhari_Ringkasan_Disertasi.pdf
Dr. Purwadi, M. (2009, November 9). Rumah Einstein.
Retrieved Maret 29, 2015, from Rumah Enstein Web site:
http://www.rumaheinstein.com/sites/default/files/ebooks/11.07-Sejarah%20Sastra%20Jawa.pdf
Drs. Aloysius Indratmo, M. (2009). uns. Retrieved
Maret 20, 2015, from si.uns.ac.id: http://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/196302121988031002DUNIA%20SASTRA%20JAWA.doc
Munandar, A. A. (2004, Agustus). Journal UI. Retrieved
Maret 20, 2015, from Journal UI Web site:
journal.ui.ac.id/index,php/humanities/article/viewFile/87/83
Muzakka, M. (2010, Januari 28). eprints undip.
Retrieved Maret 20, 2015, from Undip Web site: http://eprints.undip.ac.id/5966/
Widayat, D. A. (2006, Maret 2006). Staff UNY.
Retrieved Maret 30, 2015, from Staff UNY Web site:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs-afendy-widayat-mphil/diktatteori-sastra-jawa.pdf
Rusyan. 1987. Bahasa dan Sastra dalam
Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.
Atar, Semi. 1990. Metode Penelitian Sastra.
Bandung: Sinar Baru.
Kusnadi.
Cerita Rakyat Pesisiran Jawa Timur Perspektif Antropoligis. Jember.
Koentjaraningrat.
1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Ayu Sutarto.
"Studi Pemeetaan kebudayaan Jawa Timur" (Studi Deskkriptif
Pembagian 10 (sepuluh)
sub kebudayaan Jawa
Timur). 2004. Program
Studi Antropologi. FISIP-Universitas Jember.
0 komentar:
Posting Komentar