Jumat, 01 Mei 2015

Sastra Nusantara | Sastra Jawa

Khazanah Sastra Jawa

 Karya sastra adalah karya yang imajinatif, baik karya lisan maupun tertulis. Dewasa ini banyak sekali sastra yang ada di Indonesia. Baik berupa sastra lisan maupun sastra tulis. Dari masing-masing daerah yang ada di Indonesia juga memiliki sastra khasnya. Mulai dari yang sudah dikenal banyak orang hingga yang belum diangkat ke masyarakat umum. Pada makalah ini penyusun akan menjelaskan bebrapa hal mengenai Sastra Jawa.
Di sini, penyusun akan mengulas segala sesuatu yang berkaitan dengan sastra Jawa, baik dari segi sejarah, bentuk dan jenis, keunikan, tokoh, hingga contoh kajian bentuk karya sastranya. Di dalam sastra Jawa sendiri sudah cukup terkenal dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya di daerah Pulau Jawa dan sekitarnya. Banyak sekali hasil karya sastra Jawa yang tersebar di Indonesia.
Latar belakang penyusun memilih topik mengenai “Sastra Jawa” karena salah satu pemenuhan tugas mata kuliah Sastra Nusantara dan “Sastra Jawa” memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh sastra-sastra di daerah lain. Berdasarkan bahasa, Sastra Jawa terbagi menjadi empat yakni Sastra Jawa Kuna, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Baru, dan Sastra Jawa Modern. Dari keempat Sasrtra Jawa tersebut, yang paling populer di masyarakat saat ini adalah Sastra Jawa Modern. Hingga saat ini, Sastra Jawa Modern terus berkembang dengan didukung oleh ratusan pengarang yang masih setia dan paraa pembaca yang masih menikmatinya.
Kendati sudah populer di kalangan masyarakat, Sastra Jawa sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Kajian karya Sastra Jawa pun beragam macamnya. Bila dilihat dari minat masyrakat, saat ini, masyarakat lebih cenderung mengkaji Sastra Jawa dengan bahasan dari segi teori sastranya. Salah satu dari kajian tersebut adalah kajian Puisi Singir oleh Moh. Muzakka, kajian mengenai karya Sastra Kuno yang diabadikan pada Relief candi-candi abad ke-13 – 15 M, dan Studi Serat Sastra Gendhing yang dikaji dari segi mistisme Islam Jawa.
Dari beberapa kajian yang ada, penyusun sangat tertarik dengan keberagaman Sastra Jawa di Indonesia, di mana Sastra Jawa yang berkembang di masyarakat saat ini sangat kental sekali dengan kebudayaan-kebudayaan Jawa Kuno. Terlepas dari zaman yang sudah modern ini, sastra Jawa masih diminati oleh beberapa masyarakat tertentu dan sangat menarik perhatian para peneliti dan pengkaji di bidang sastra, termasuk penyusun sendiri. Diharapkan dengan adanya pembahasan dan pengkajian mengenai Sastra Jawa ini, pembaca dapat mengenal lebih dalam tentang Sastra Jawa. Terkhususkan bagi mereka, penduduk asli di pulau Jawa agar masyarakat Jawa sendiri dapat mengenal, mengerti, dan peka terhadap kebudayaan di daerahnya sendiri yang kini sudah sedikit yang mengenal kebudayaan Jawa dan selebihnya bagi mereka penduduk luar pulau Jawa.

PEMBAHASAN

Batasan Tentang Kesusastraan

Wellek & Warren (1993), menuliskan bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas, juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang lain, sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada umumnya.
Secara etimologis, kata sastra dalam bahasa Indonesia (dalam bahasa Inggris sering disebut literature dan dalam bahasa Perancis disebut litterature) berasal dari bahasa Sanskerta: akar kata ‘sas-, dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi”. Akhiran -tra, biasanya menunjukkan “alat, sarana”. Jadi sastra dapat berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran”. Kata lain yang sering dipergunakan ialah kata susastra yang berasal dari kata sastra mendapat awalan su- yang berarti “baik, indah”. Jadi kata suastra dapat berarti “sastra yang baik” atau “sastra yang indah” yang dalam bahasa Perancis atau Inggris dipergunakan istilah belles-lettres. Menurut Gonda kata susastra tidak dipergunakan dalam bahasa Jawa Kuna, sehingga istilah susastra adalah ciptaan Jawa atau Melayu yang muncul kemudian (Teeuw, 1984).
Batasan secara etimologis tersebut, juga belum maksimal. Tidak semua alat untuk mengajar bisa dikategorikan sebagai sastra, walaupun dalam arti sebaliknya, semua sastra “dapat” dipergunakan sebagai alat untuk mengajar. Wellek & Warren (1993) mencatat bahwa untuk mendefinisikan sastra ada beberapa cara, yakni sebagai berikut.
1)      Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Pengertian ini seperti pengertian etimologis pada kata literature (Inggris). Jadi ilmuwan sastra dapat mempelajari profesi kedokteran, ekonomi, dsb. Dengan demikian seperti yang dikemukakan Edwin Greenlaw (teoritikus sastra Inggris) bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam wilayah sastra. Demikian pula menurut banyak praktisi ilmu lain, sastra bukan hanya berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan tetapi memang identik. Dalam hal ini Wellek & Warren mengomentari bahwa akhirnya studi semacam ini bukan studi sastra lagi. Studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cenderung menggeser studi sastra yang murni, karena dalam studi kebudayaan semua perbedaan dalam teks sastra diabaikan. Bagi sastra Jawa, seperti halnya pada banyak budaya lain, batasan seperti ini tidak menguntungkan karena Jawa memiliki tradisi sastra lisan yang sangat kuat.
2)      Cara lain untuk membatasi definisi pada sastra adalah membatasi pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap “menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini kriteria penilaiannya adalah segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di antara puisi lirik, drama dan cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasarkan pertimbangan estetis. Sedang buku-buku lain dipilih karena reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnya, ditambah penileian estetis dalam gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaiannya. Dalam hal ini sastra atau bukan sastra ditentukan oleh penilaian. Di samping itu sejarah, filsafat dan ilmu pengetahuan termasuk dalam sastra. Dalam Sastra Jawa Kuna dan sebagian Sastra Jawa Modern, memang banyak karya sastra yang berisi ilmu pengetahuan atau sejarah, namun sering dikategorikan sebagai karya sastra karena gaya bahasanya, antara lain Negarakertagama (Jawa Kuna) dan karya sastra Babad (Jawa Modern) yang sebagian besar berisi sejarah.
3)      Menurut Wellek & Warren, pengertian sastra yang paling tepat diterapkan pada seni sastra, yakni sastra sebagai karya imajinatif. Istilah lainnya adalah fiksi (fiction) dan puisi (poetry), namun pengertannya lebih sempit. Sedang penggunaan istilah sastra imajinatif (imaginative literature) dan belles-latters (tulisan yang indah dan sopan) kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra, dinilai kurang cocok dan bisa memberi pengertian yang keliru. Istilah Inggris, literature, juga lebih sempit pengertiannya. Istilah yang agak luas pengertiannya dan lebih cocok adalah istilah dari Jerman wortkuns dan dari Rusia slovesnost.
4)      Cara lain yang dilakukan untuk memecahkan definisi sastra adalah melalui kategorisasi bahasa. Bahasa adalah media yang dipergunakan oleh sastra. Namun demikian sastra tidak memiliki media secara khusus, karena bahasa juga dipergunakan sebagai media komunikasi oleh bidang keilmuan lain. Oleh karena itu membatasi sastra dari segi bahasanya juga tidak sesederhana (Widayat, 2006).
Batasan sastra menurut Plato, adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.Aristoteles murid Plato memberi batasan sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut kaum formalisme Rusia, sastra adalah sebagai gubahan bahasayang bermaterikan kata-kata dan bersumber dari imajinasi atau emosi pengarang. Rene Welleck dan Austin Warren, memberi defenisi bahasa dalam tiga hal yaitu:
1)      Segala sesuatu yang tertulis.
2)      Segala sesuatu yang tertulis dan yang menjadi buku terkenal, baik dari segi isi maupun bentuk kesusastraannya.
3)      Sebagai karya seni yang imajinatif dengan unsur estetisnya dominan dan bermediumkan bahasa.

Sejarah Sastra Jawa

Berkaitan dengan Sastra Jawa maka secara praktis mengarah pada suatu bentuk aktivitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa.
Pujangga adalah predikat yang diberikan kepada seseorang yang telah menciptakan atau menggubah suatu karya satra. Pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, Pujangga memeroleh julukan Empu, sedangkan pada zaman Jawa-Islam, pujangga memperoleh julukan Kyai. Itu sebabnya, mengapa dikenal nama Empu Tantular, Empu Prapanca, Empu Seda dan Empu-empu yang lainnya. Dikenal pula nama Kyai Jasadipura dan Kyai Ranggawarsito. Sebutan-sebutan Empu dan Kyai pada hakikatnya menyimpan konvensi yang aktual dan berlaku pada era zaman masing-masing.
Perjalanan sastra Jawa yang berlangsung sangat panjang telah banyak diwarnai oleh pengaruh-pengaruh budaya asing yang datang ke tanah Jawa. Pengaruh budaya luar yang paling menonjol dan turut mewarnai adalah budaya Hindu dari India, yaitu pada zaman Renaisan Jawa I antara abad VIII sampai abad XV (masa Jawa Budha dan Jawa Hindu); dan budaya Islam dari Arab, pada zaman Renaisan Jawa II antara abad XVI sampai awal abad XX.
Pengaruh Sastra Hindu dari India terhadap karya Sastra Jawa ditandai dengan munculnya karya Sastra Jawa kekawin dan kitab-kitab parwa. Karya ini banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta. Akibatnya, banyak karya Sastra Jawa itu memuat ajaran agama Hindu. Bangsa India menilai kitab-kitab Hindu itu suci karena berisi ajaran religius seperti kitab Ramayana dan Mahabarata, mereka juga menilai bahwa kitab-kitab mereka juga berlaku pada masyarakat Jawa. Bahkan penamaan kitab-kitab sastra itu menunjukan penghormatan terhadap karya-karya tersebut.
Sementara itu, menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, sekitar abad ke-15 sampai dengan abad ke-16 pengaruh agama Islam semakin meluas, sehingga muncullah karya-karya sastra yang bernuansa Islam. Karya sastra Jawa yang asalnya dari karya Kakawin menjadi sastra tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede. Pada era selanjutnya, aspek historis dalam Sastra Jawa semakin kuat dengan munculnya karya-karya babad (sastra sejarah) yang muncul pada pertengahan abad ke-17. Karya sastra Jawa sebelum abad ke-19, sejak kepujanggaan Yasadipura hingga Ronggowarsito kebanyakan berupa manuskrip.
Pada akhir abad ke-19 sastra Jawa memasuki babakan baru sebagai pengaruh akibat budaya barat yang mana berakibat munculnya karya sastra modern dari berbagai jenis sastra atau genre sastra. Pengaruh tersebut bersamaan dengan berlangsungnya pendidikan Eropa terhadap masyarakat Jawa. Pengarang sastra Jawa modern dipelopori oleh kalangan pendidik atau guru seperti Mas Kuswadiharjo, Raden Mas Wiryasusastro, Mas Reksatanaya, dan Mas Prawirasudirya. Pada masa itu karya sastra tersebut dimaksudkan sebagai bacaan para siswa sekolah.
Sedangkan pada awal abad ke-20, karya sastra Jawa banyak yang berupa fiksi. Akan tetapi, fiksi tersebut masih terkesan mengutamakan pesan-pesan pendidikan. Pada abad itu pula balai pustaka juga menerbitkan  karya sastra dari kalangan non guru yang biasanya ditulis oleh pegawai pamong praja yang karyanya antara lain, Serat Panutan (Prawirasudirja), Rukun Arja (Samuel Martaatmaja), Kartimaya (Adisusastra), Isin Ngaku Bapa (Prawirasudirja), dan Darma Sanyata (Raden Ngabei Kartasiswaya).
Sastra Jawa modern periode 1920 sampai dengan perang kemerdekaan memiliki kaitan sejarah dengan periode sebelumnya. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai masa pertumbuhan genre Barat ke dalam Sastra Jawa. Menurut Rass genre barat masuk kedalam sastra Jawa sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa kedalam masyarakat Jawa.
Selain itu pemerintah kolonial secara perlahan-lahan berusaha mewujudkan sastra-sastra Jawa melalui lembaga-lembaga, baik yang murni pemerintah maupun swasta. Lembaga-lembaga ini amat berperan dalam usaha menyediakan bahan bacaan dan pengembangan sastra Jawa. Sastra Jawa sejak tahun 1920 sampai dengan perang kemerdekaan terus berkembang, hal ini ditandai dengan pengaruh dari sastra barat dalam bentuk pengenalan genre baru.
-          Perkembangan Sastra Jawa

Dimulai sejak jaman kraton Mataram Hindu, Budha, Medang, Kahuripan, Jenggala, Daha, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Pada awal abad 20 sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat pengaruh dari metrum-metrum kesusastraan yang berasal dari Barat. Untuk sejarah Mataram Islam Graff (1987) telah menulis buku dengan judul “ Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati.”
Sastra merupakan produk masyarakat Jawa yang sudah berusia sangat panjang. Kebudayaan asli Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Budha yang berasal dari India. Kebudayaan India secara riil mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan Jawa, meliputi: sistem kepercayaan, kesenian, kesusastraan, astronomi, mitologi, dan pengetahuan umum. Dalam hal ini Drewes, 1965. Telah menulis “De Drie Javaansche Goeroc’s.”
Kesusastraan adalah bagian dari kebudayaan, maka dengan kebudayaan India datang pulalah kesusastraan India di Nusantara. Mulai pertama tahun Masehi di India  berkembanglah kesusastraan yang terutama berpusat kepada kitab-kitab suci agama Hindu sesudah perkembangan agama Budha, yaitu kitab-kitab purana (Wojowasito, 1967). Di samping Hinduisme ini berkembang pula lah agama Budha, baik Mahayana, maupun Hinayana, dengan seluruh kesusastraannya. Tidak hanya kesusastraan yang  berhubungan dengan agama saja yang berkembang, tetapi di samping itu terdapat pula karangan-karangan yang terutama mementingkan indahnya bahasa, halusnya rasa, bagusnya irama. Selama inilah timbul sajak yang terkenal bagusnya bagi bangsa India, yaitu yang disebut Kawya.
Dalam abad ketujuh di Nusantara ada kerajaan besar yang sedang memuncak kekuasaannya yaitu Sriwijaya di Sumatra dan Mataram di Jawa-Tengah. Kebesaran Sriwijaya dapat dilihat dari adanya piagam-piagam yang terdapat dan dari berita-berita orang Tionghoa, sedang kebesaran Mataram dapat dilihat dari bekas-bekasnya, misalnya Borobudur, Kalasan dan Mendut. Kesusastraan pada waktu itu tentu  berkembang pula, karena dipusat kerajaan Sriwijaya diibukotanya ada perguruan tinggi agama Budha, sedang pada Borobudur ada terpahat cerita Lalitawistara.
Tetapi sayang sekali, bahwa tidak ada hasil kesusastraan yang ketinggalan dari kedua kerajaan itu, yang tentunya akan besar faedahnya untuk mengetahui corak kesusastraan pada waktu itu, jika kita dapat mempelajarinya. Hal ini disebabkan, oleh karena kitab-kitab itu terbuat dari bahan yang mudah rusak dan tidak dapat bertahan lama, lain halnya dengan candi-candi yang terbuat dari batu. Berubahnya keadaan politik, disertai oleh  peperangan-peperangan, hancurnya keraton, kurangnya perhatian akan harga atau nilai kebudayaan kuno semua itu menyebabkan dan mempercepat lenyapnya hasil-hasil kesusastraan pada waktu itu. Kesusastraan Sumatra dan sekitarnya termasuk pula Semenanjung Malaka hanya dapat dipelajari hingga permulaan abad ketujuh belas dan itupun sangat sukarnya, oleh karena kurangnya kitab-kitab yang dapat dipelajari. Bagaimana halnya dengan Jawa? Dalam bagian tentang sejarah politik dalam kitab ini telah diketahui, bahwa pusat kerajaan berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Raja yang mula-mula didengar yaitu Empu Sindok yang mendirikan dinasti yang dapat berlangsung hingga tahun 1222 ingat akan Kertajaya.
Dengan berpindahnya keraton, berpindah pula pusat perkembangan kesusastraan, karena harus diingat, bahwa keratonlah yang pada waktu itu memelihara kaum pujangga. Kebiasaan itu masih dapat dilihat hingga akhir abad 19 di keraton Sunan Solo. Pujangga-keraton daerah istimewa kesunanan yang terakhir yaitu Ronggowarsito. Nama ini sangat terkenal dalam lapangan kesusastraan di Solo. Maka berhubung dengan apa yang telah diuraikan di atas sejarah kesusastraan bahasa Kawi Jawa Kuno ini berkisar pada perurutan kekuasaan-kekuasaan sebagai berikut: kerajaan Sindok dan pengganti-penggantinya.
Pemerintahan Udayana dan Airlangga di Bali. Kerajaan Airlangga di pulau Jawa. Kerajaan-kerajaan Jenggala dan Kediri, Daha, kerajaan Singasari, kerajaan Majapahit, kerajaan Samprangan Gelgel Bali dan kerajaan Klungkung Bali. Sejak datangnya agama Islam perhatian kepada kesusastraan kuno sangat  berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Jadi dengan lenyapnya kerajaan Majapahit dari Jawa Timur itu, lenyap pulalah kesusastraan Kawi dari daerah itu. Untunglah ada Bali yang sejak bersatu dengan Majapahit tetap menjunjung tinggi pusaka nenek-moyangnya dari jaman Majapahit hingga sekarang. Dari Balilah didapatkan sebagian  besar hasil kesusastraan jaman pengaruh India hingga berakhirnya Kerajaan Majapahit, dan oleh karena naskah-naskah itulah maka dapat diketahui sebagian besar  perkembangan politik di Nusantara hingga lenyapnya Majapahit. Studi sejarah Jawa Kuno secara tertulis dimulai tanggal 25 Maret 804, dengan ditemukannya Prasasti Sukabumi yang berbunyi: Pada tahun 726 penanggalan Saka, dalam bulan Saitra , pada hari kesebelas  paro terang  , pada hari Haryang  atau hari kedua dalam minggu yang berhari enam, Wageatau hari keempat dalam minggu berhari lima, Sanis cara atau hari ketujuh dalam minggu yang berhari tujuh (Zoetmulder, 1985: 3). Keterangan ini amat berharga berkaitan dengan validitas sumber penulisan historiografi lokal pada khususnya, sejarah nasional pada umumnya.
Sejajar dengan kitab-kitab parwa dapat disebut purana, yaitu Brahmandapurana. Purana itu mengambil contohnya dari kitab purana di India dan menjadi milik kaum  pendeta pedanda di Bali. Yang mendapatkan kitab lontar Brahmandapudna di Bali yaitu Friederikh pada tahun 1849. Tetapi baru pada tahun 1933 kitab itu diterbitkan dan diterjemahkan oleh Gonda. Gaya bahasanya seperti parwa. Untuk memudahkan  pemandangan, marilah dilihat contoh sebagai berikut:
Hana sira maharaja  Adisimakrsna ngaran ira, siniwi ring Baratawarsa, mahasakti lituhayu mahardika gu-nawang tuwi. Sadaraka ta sira, tan hana pada nireng buwana, wenang ta sira milangaken kalengka ning buwana. Tatan hana musuh wanya pramuka paduka nira.
Artinya : Adalah seorang maharaja Adisimakrsna namanya memerintah di Baratawarsa, India, amat berkuasa, indah, budiman dan saleh. Ia adalah seorang yang amat dihormati yang tiada taranya didunia, ia dapat menghancurkan noda dunia. Tiada musuh yang berani berhadapan dengan baginda (Dr. Purwadi, 2009).

Macam-macam Bentuk dan Jenis Sastra Jawa

Sastra Jawa dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan bahasa dan kategori isi. Berdasarkan Bahasa Jawa yang digunakan, Sastra Jawa dapat dibedakan menjadi Sastra Jawa Kuna, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Baru, dan Sastra Jawa Modern.
Sastra Jawa Kuna
Sebagian besar Sastra Jawa Kuna berbentuk kakawin (puisi) yang menggunakan metrum India, tetapi terdapat juga yang berbentuk Parwa (prosa). Bahasa Jawa Kuna sering disebut sebagai Bahasa Kawi, namun Bahasa Kwai hanya berarti bahasa para Kawi, yakni para penulis Kakawin. Bahsa Jawa Kuna tidak hanya digunakan dalam kakawin saja, tetapi juga digunakan dalam Parwa,
Sastra Jawa Kuna digunakan pada abad IX-XVII, atau pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yakni sejak Mataram Hindu sampai Majapahit. Beberapa karya besar zaman Jawa Kuna antara lain:
-          Ramayana karya Yogiswara
-          Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa
-          Hariwangsa karya Mpu Panuluh
-          Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Panuluh
-          Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh
-          Krsnayana karya Mpu Panuluh
-          Smaradahana karya Mpu Dharmaja
-          Arjunawijaya karya Mpu Tantular
-          Sutasoma karya Mpu Tantular
-          Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca
-          Lubdaka/Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung (Zoetmulder, 1985: 453) (Drs. Aloysius Indratmo, uns, 2009).
Sastra Jawa Tengahan
Sastra Jawa Tengahan digunakan sekitar abad XVI, atau pada masa akhir Majapahit sampai dengan masuknya Islam ke Jawa. Karya Sastra Jawa Tengahan sebagian besar dalam bentuk Kidung (Puisi). Kidung menggunakan metrum Jawa. Beberapa karya Kidung antara lain:
-          Kidung Harsawijaya
-          Kidung Ranggalawe
-          Kidung Sorandaka
-          Kidung Sunda
-          Wangbang Wideya
-          Sri Tanjung (Zoetmulder, 1985: 532) (Drs. Aloysius Indratmo, uns, 2009).
Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Baru digunakan sejak masuknya Islam ke Jawa, dan semakin berkembang pesat saat Kerajaan Demak berkuasa. Sastra Jawa Baru masih meninggalkan sastra lisan, biasanya sering disebut sebagai Cerita Rakyat. Sastra Lisan kebanyakan berkembang dalam tradisi masyarakat lokal bersama foklor setempat. Sastra Jawa Baru yang tertulis sering disebut Sastra Kapujanggaan, di mana kebanyakan sastra ini ditulis oleh para pujangga kerajaan.
Selama abad XVIII dan XIX dikenal tiga belas nama tokoh pujangga besar, termasuk di antaranya dua raja Surakarta: PB II dan IV, seorang pangeran, dan dua adipati dari Semarang (Margana, 2004: 133) (Drs. Aloysius Indratmo, uns, 2009).
 Sastra Jawa Modern
R.Ng. Ranggawarsita dikenal sebagai pujangga terakhir Sastra Jawa. Setelah kematiannya, berkembanglah Sastra Jawa Modern bersamaan dengan munculnya penerbit dan surat kabar, seperti Penerbit Balai Pustaka (1917), Surat Khabar Bromartani (1885), Surat Khabar Retnodumilah (1895), Surat Khabar Budi Utomo (1920), dan lain-lain.
Pada periode ini, banyak karya berupa kisah perjalanan, misalnya Coriyos Kekesahan Saking Tanah Jawi Dhateng Nagari Welandi tulisan RMA Suryasuparta. Terdapat juga karya terjemahan dari sastra dunia, seperti Dongeng Sewu Setunggal Dalu.
Sastra Jawa Modern periode 1920 – 1945 sepenuhnya didukung oleh penerbit Balai Pustaka, Majalah Panjebar Semangat. Novel pertama  diterbitkan tahun 1920 berjudul Serat Riyanto tulisan RM Sulardi. Sejak tahun 1935 crita sambung mulai berkembang, diawali oleh cerita bersambung karya Sri Susinah dengan judul “Sandhal Jinjit Ing Sekaten Sala” (PS No. 44 Tahun III, 2 Nov 1935). Disusul kemudian dengan perkembangan crita cekak yang dimulai oleh terbitnya karya Sambo yang berjudul “Netepi Kuwajiban” (PS No. 45 Tahun III, 9 Nov 1935). Geguritan muncul agak belakangan, yakni berjudul “Dayaning Sastra” karya R. Intoyo dalam majalah Kejawen No, 26 tanggal 1 April 1941.
Sejak saat itu Sastra Jawa Modern terus berkembang hingga saat ini dengan didukung oleh ratusan pengarang yang masih setia. (Drs. Aloysius Indratmo, uns, 2009)
Jenis Sastra Jawa berdasarkan kategori isi, diantaranya:
1)      Sejarah
`Teks Sejarah mencakup segala macam babad yang menceritakan peristiwa historis dan legendaris, sejak penciptaan dunia sampai dengan Perang Dunia I.
2)      Silsilah
Banyak diantara teks sejarah juga mengandung penjabaran silsilah para raja Jawa. Dalam bagian ini, hanya naskah yang secara eksplisit terfokus pada silsilah yang termasuk.
3)      Hukum
Teks berisi uraian tentang hukum, peraturan, dan adat-istiadat di Keraton Jawa.
4)      Bab Wayang
Teks yang termasuk dalam kategori ‘wayang’ ini kebanyakan dikarang dalam bentuk prosa dan berisi pakem (ringkas atau lengkap) untuk lakon-lakon wayang purwa, madya, goleh, gedhog, wong. Kategori ini jua mencakup tentang ruwat, pedalangan, dan pembuatan wayang.


5)      Sastra Wayang
Kebanyakan teks ini merupakan saduran langsung dari pakem wayang, digarap dalam bentuk pembuatan wayang.
6)      Sastra
Kategori ini yang paling luas di antara kategori yang dipakai dan paling sulit untuk didefinisikan. Secara kasar, semua cerita yang digubah dalam bentuk.

Keunikan Sastra Jawa

Budaya Indonesia banyak sekali jumlahnya, tiap wilayah akan memiliki budaya dan kearifan lokal yang berbeda-beda. Perbedaan itu membuat Indonesia semakin eksotis dimata dunia. Perbedaan itu membuat Indonesia semakin dewasa dan bijaksana. Begitu pula dengan Jawa Timur, Provinsi paling timur di pulau jawa ini memiliki keunikan tersendiri. Tentunya dalam hal kebudayaannya. Jawa Timur memiliki sepuluh wilayah kebudayaan yang berbeda, uniknya ini dalam satu provinsi yang sama.
Menurut Koentjaraningrat (1983) tentang unsur kebudayaan, beliau menyatakan bahwa ada tujuh unsur dalam sebuah kebudayaan secara universal. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut antara lain adalah sistem religi, sistem organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan itu membuat Jawa Timur tebagi menjadi sepuluh wilayah kebudayaan. Menurut Ayu Sutarto (2004) ada sepuluh wilayah kebudayaan Jawa Timur yaitu Jawa Mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin (Sedulu Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kangean.
-          Wilayah kebudayaan Jawa Mataraman memiliki corak kebudayaan yang hampir sama dengan yang ada di wilayah Yogyakarta dan Surakarta atau corak kebudayaan dari Kerajaan Mataram. Pola kehidupan masyarakatnya juga sangat mencerminkan kehidupan masyarakat jawa mataram. Bahasa yang digunakan masyarakat wilayah ini juga sangat mataram, walaupun tingkat kehalusan berbeda dengan masyarakat yang ada di Yogyakarta dan Surakarta, namun pada dasarnya mereka memiliki satu garis leluhur yang sama. Cara bercocok tanam dan sistem sosial masyarakat jawa mataraman juga tidak jauh beda dengan wilayah mataram di jawa tengah. Begitu pula dengan selera kesenian yang sangat bercorak mataram, banyak jenis kesenian seperti ketoprak, wayang purwa, campur sari, tayub, wayang orang, dan berbagai tari yang berkait dengan keraton seperti tari Bedoyo Keraton. Wilayah yang tercakup dalam Jawa Mataraman yaitu masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Ngawi, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten dan Kota Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bojonegoro. Namun masih perlu dipertanyakan jika Lamongan dan Bojonegoro termasuk dalam wilayah kebudayaan ini, karena dari segi bahasa menurut saya sangat berbeda.
-          Wilayah Jawa Panaragan merupakan masyarakat daerah Ponorogo. Wilayah kebudayaan disini secara cultural terkenal dengan masyarakat yang sangat menghormati tokoh-tokoh formal yang mereka kenal sebagai pangreh praja, tetapi tokoh-tokoh seperti warok dan ulama juga menjadi tokoh penting dalam masyarakat Panarangan. Jenis kesenian wilayah ini sangat terkenal di Indonesia bahkan dunia, serta sempat diklaim sebagai kebudayaan sebuah negara di Asia yang secara garis kebudayaan memang masih serumpun yaitu melayu. Jenis kesenian tersebut yaitu Reog Ponorogo, juga beberapa kesenian lain seperti lukisan kaca dan tayub ponorogo. Pada wilayah ini juga masih butuh penelitian lebih lanjut, mengapa daerah ini tidak masuk dalam wilayah Jawa Mataraman? Melihat kondisi geografis wilayah ini diapit oleh daerah dengan kebudayaan Jawa Mataraman, seperti Pacitan, Magetan, Madiun, dan Kediri.
-          Wilayah Arek merupakan wilayah kebudayaan yang cukup dikenal dan dapat dikatakan sebagai ciri khas Jawa Timur. Masyarakat wilayah ini dikenal memiliki semangat juang yang tinggi, terbuka terhadap perubahan masa, dan mudah beradaptasi. Bondo nekat menjadi ciri khas komunitas ini. Perilaku tersebut bisa sangat positif hingga munculnya sifat patrotik ya sangat luar biasa, namun bisa menjadi sangat destruktif apabila tidak ada kontrol dari masyarakat itu sendiri. Surabaya dan Malang menjadi pusat kebudayaan Arek. Kedua kota besar ini menjadi pusat kebudayaan Arek karena kondisi sosial masyarakatnya yang begitu komplek dan heterogen, bisa dikatakan menjadi pusat bidang pendidikan, ekonomi, dan parawisata di Jawa Timur. Terutama pada kota Surabaya yang menjadi tempat yang nyaman bagi segala kebudayaan yang datang bersinggah di Jawa Timur. Kesenian tradisional (rakyat) yang banyak berkembang di sini adalah Ludruk, Srimulat, wayang purwa Jawa Timuran (Wayang Jek Dong), wayang Potehi (pengaruh kesenian China), Tayub, tari jaranan, dan berbagai kesenian bercoral Islam seperti dibaan, terbangan, dan sebagainya. Sikap keterbukaan, egalitarian, dan solidaritas yang tinggi membuat semua jenis kesenian bisa hidup di wilayah ini seni rupa berbagai jenis, gaya, dan aliran mampu berkembang pesat di wilayah kebudayaan Arek, begitu juga dengan seni kontemporer, sastra, tari, dan teater yang menjadi warna tersendiri pada kebudayaan Jawa Timur. Wilayah kebudayaan Arek meliputi Surabaya, Malang, Mojokerjo, Gresik, Sidoarjo.
-          Wilayah kebudayaan Samin merupakan wilayah dengan populasi yang semakin sedikit keberadaannya. Masyarakat Samin sangat unik, mereka paling anti dengan yang namanya penjajahan dan bersikap jujur merupakan harga mati bagi mereka. Masyarakat komunitas Samin menganggap manusia yang baik adalah manusia yang kata dan perbuatannya sama. Wilayah kebudayaan Samin berpusat di Blora Jawa Tengah, namun persebarannya hinggi mencakup Jawa Timur, yaitu Bojonegoro. Wilayah ini masih butuh banyak penelitian-penelitian yang lebih akurat, karena melihat kondisinya yang semakin tersingkir oleh jaman, sudah sepatutnya kita turut menjaga dan melestarikan wilayah ini sebagai warisan leluhur yang tentu sangat bermanfaat untuk membangun Indonesia dan Jawa Timur pada khususnya.
-          Wilayah kebudayaan Madura pulau dikenal sebagai komunitas dengan keuletan dan ketangguhannya. Jiwa penjelajahnya begitu terkenal hampir serupa dengan masyarkat bugis dan minangkabau. Kondisi tanah yang kurang subur menyebabkan mereka harus melakukan tindakan lain selain bertani. Garam menjadi komoditi utama masyarakat Madura dalam bidang perekonomian. Agama Islam menjadi hal yang paling mendasari mereka dalam bertindak dan bersikap. Seperti halnya Ponorogo, kiai menjadi tokoh yang sangat berpengaruh dalam masyarakat. Sistem pendidikan pesantren semakin membuat tokoh agama seperti kiai ini sangat berperan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Madura. Kesenian yang berkembang di wilayah ini banyak diwarnai nilai Islam. Mulai dari tari Zafin, Sandur, Dibaan, Topeng Dalang (di Sumenep), dan sebagainya. Karya sastra bernuansa Islam juga sangat mewarnai kebudayaan masyarakat Madura. D. Zawawi Imron merupakan kiai sekaligus maestro sastra Indonesia juga berasal dari pulau garam ini. Bahasa Madura memiliki keunikan tersendiri di Jawa Timur. Ragam Bahasa Madura sangat berbeda dengan apa yang ada kebanyakan di Jawa Timur. Masyarakat kebudayaan ini juga berhubungan dengan masyarakat Madura Bawean dan Kangean yang pada dasarnya merupakan kebudayaan Madura.
-          Wilayah kebudayaan Pandalungan merupakan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai utara Jawa Timur Bagian timur, seperti Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Sitobondo, dan Bondowoso. Sebagian besar masyarakat wilayah ini memilih untuk bercocok tanam dan sebagai nelayan. Masyarakat wilayah ini sangat dipengaruhi oleh budaya Madura. Corak Mataraman dan Pandalungan mewarnai kesenian pada wilayah ini, dengan corak keislaman yang begitu kuat dalam setiap kesenian yang ditawarkan. Ada hal unik dalam kebahasaan masyarakat Pandalungan, apabila kita bertemu dengan kawan yang berasal dari Pandalungan kita akan mengira mereka adalah orang Madura, terlihat dari bahasa mereka, padahal mereka bukan orang Madura, bahasa mereka lebih condong ke bahasa jawa, namun dengan dialek Madura yang sangat kuat. Mereka pun tidak mau disebut orang Madura, karena mereka punya kebudayaan tersendiri, walaupun masih mendekati kesamaan dengan wilayah Madura.
-          Wilayah kebudayaan Osing merupakan wilayah yang cukup khas di Jawa Timur. Terletak di daerah kabupaten Banyuwangi, terutama di wilayah yang berdekatan dengan Bali. Masyarakat Osing begitu rajin dalam hal pertanian dan memiliki bakat seni yang luar biasa. Kesenian masyarakat ini perpaduan budaya Jawa dan Bali, serta pengaruh Pandalungan juga begitu terlihat karena mobilitas sosial wilayah ini juga berhubungan dengan wilayah Pandalungan. Wilayah masyarakat Osing ada kesenian Gandrung Banyuwangi yang begitu terkenal di Jawa Timur, sekaligus Indonesia pada umumnya, lalu Kentrung, dan Burdah (Gembrung).
-          Wilayah kebudayaan Tengger mencakup wilayah Tengger Bromo, Probolinggo. Masyarakat ini sangat terkenal dengan tradisinya yang masih sangat terjaga. Nilai-nilai kerajaan Majapahit masih sangat melekat dalam tiap tindakan masyarakat Tengger. Animisme dan Hindu juga tetap hidup dalam wilayah ini. Ucapara Kasada merupakan ritual adat yang paling terkenal di masyarakat Tengger. Bertani dan menikmati hasil hutan merupakan objek bergantungnya kehidupan masyarakat Tengger.

Tokoh Sastra Jawa

1)      Tokoh Sastra Jawa Baru
-          Pangeran Adilangu II
Pangeran Adilangu atau Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang juga dikenal sebagai Pangeran Adilangu. Pangeran Adilangu II adalah pujangga semasa PB I dari Kartasura. Karyanya adalah Babad Pajajaran, Babad Demak, Babad Mentawis.
-          Carik Bajra (wafat 1751)
Pada masa mudanya ia bernama Sarataruna yang bekerja sebagai juru tulis di rumah Tumenggung Kartanegara. Karena tulisan-tulisannya disukai Raja PB I, ia diminta untuk menjadi juru tulis istana dan memperoleh gelar Carik Bajra. Karyanya adalah Babad Kartasura dan Babad Tanah Jawi.
-          Raden Ngabehi Yasadipura I (1729 – 1803)
R.Ng. Yasadipura I lahir di desa Pengging. Ayahnya adalah Tumenggung Padmanagara, seorang jaksa pada masa Kartasura. R.Ng. Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Karya-karyanya adalah: Tajusalatin, Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti, Sewaka, Ambiya, Menak, Baratayuda (jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Arjunawiwaha (jarwa), Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci (jarwa), Babad Pakepung.
-          Raden Ngabehi Yasadipura II (1756 – 1844)
R.Ng. Yasadipura II adalah putra R. Ng. Yasadipura I. Ia memiliki beberapa nama lain, yakni Raden Panjangwasita, R.Ng. Ranggawarsita I, dan Tumenggung Sastranagara. Karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad XIX. Bersama-sama dengan atahnya ia menulis beberapa babad dan menerjemahkan beberapa karya Jawa Kuna. Ia diangkat sebagai pujangga kerajaan setelah ayahnya wafat. Ia juga bekerjasama dengan Kiai Ranggasutrasna, Kiai Ngabehi Sastradipura, dan Pangeran Adipati Anom Hamengkubuwana III (PB V) menyusun Serat Centhini.
Karya-karya Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra atau Serat Lokapala, Serat Darmasunya, Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama, Serat Ambiya, Serat Musa, Serat Sasana Sunu, Babad Pakepung, Serat Wicara Keras, dan Serat Centhini. Kemungkinan bersama CF Winter ia juga menggubah Serat Baratayuda dan Serat Ramayana.
-          Raden Ngabehi Ranggawarsita (18 Maret 1802 – 23 Desember 1873)
R.Ng. Ranggawarsita adalah putra Raden Ngabehi Panjangswara atau Raden Ngabehi Ranggawarsita II; atau cucu Yasadipura II. Nama kecilnya adalah Bagus Burhan. Karya R.Ng. Ranggawarsita diperkirakan berjumlah enam puluh serat. Di dalam beberapa karyanya R.Ng. Ranggawarsita menyamarkan namanya ke dalam sandi asma. Beberapa karyanya juga memuat ramalan. Karya-karya yang banyak dikenal masyarakat antara lain: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat Sabdajati, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Jayengbaya.
2)      Tokoh Sastra Jawa Modern
-          Ki Padmosusastra
Ki Padmosusastra mendapat julukan “Wong mardika kang marsudi kasusastran Jawaoleh Imam Supardi (Suripan, 1975: 8). Ki Padmosusastra lebih banyak menulis prosa daripada puisi (tembang). Ki Padmosusastra juga menerbitkan karya-karya pujangga sebelumnya. Beberapa karyanya antara lain: Rangsang Tuban, Layang Madubasa, Serat Pathibasa.
-          RMA Suryasuparta
Pada periode inin, RMA Suryasuparta menuliskan karya berupa kisah perjalanan, yaitu Cariyos Kekesahan Saking Tanah Jawi Dhateng Nagari Welandi.
-          RM Sulardi
Karyanya berjudul Serat Riyanto, diterbitkan oleh Balai Pustaka, Majalah Panjebar Semangat tahun 1920.
-          Sri Susinah
Karyanya merupakan cerita bersambung yang mengawali perkembangan cerita bersambung pada tahun 1935 dengan judul “Sandhal Jinjit Ing Sekaten Sala” (PS No. 44 Tahun III, 2 Nov 1935).
-          Sambo
Karyanya merupakan crita cerkak yang mengawali perkembangan crita cerkak tahun 1935 dengan judul “Netepi Kuwajiban” (PS No. 45 Tahun III, 9 Nov 1935).
-          R. Intoyo
R. Intoyo merupakan pujangga Sastra Jawa Modern dengan karya sastra geguritan. Karyanya berjudul “Dayaning Sastra” dalam majalah Kejawen No. 26. (Drs. Aloysius Indratmo, si. uns, 2009)

Contoh Kajian Bentuk Karya Sastra Jawa

1)      Kajian Puisi Singir
Singir adalah salah satu jenis puisi Jawa yang terpinggirkan keberadaannya. Puisi singir ini berkembang pesat di kalangan masyarakat santri. Kehadiran singir telah membentuk perilaku masyarakat dalam nuansa budaya yang berbeda dengan kelompok masyarakat Jawa awam dan masyarakat Jawa sekitar keraton, yakni diberlakukannya singir sebagai sarana pendidikan dan pengajaran nilai-nilai budaya islam.(kutipan) Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno, sedang penulisan teksnya menggunakan tulisan Arab-Jawa (pegon).
Darnawi mengemukakan bahwa singir sama bentuknya dengan syair dalam khazanah sastra lama yaitu terdiri dari emoat baris tiap baitnya, bersajak aaa. Dan bersuku kata tetap tiap barisnya, umumnya tiap baris berisi dua belas suku kata (1964:82). Contoh kutipan singir.
Sun miwiti anarik akaling bocah
Mbok manawa lawas-lawas bisa pecah
Bisa mikir bisa ngrasa bisa genah
Ngarep-arep kabeh iku min fadlilah

Wajib bapa aweh sandang mangan ngimel
Aweh arta sangu ngaji aja owel
Lan arep kasil ngilmu buwang sebel
Aja nganti ati atos amakiyel
(Singir Darma Wasana dalam Darnawi, 1964: 82-83)
Dari kutipan kedua singir di atas, didapat beberapa ciri-ciri yaitu:
-          Tiap baris terdiri atas empat baris
-          Tiap baris terdiri atas 8-12 suku kata atau wanda
-          Bersajak sama (aa-aa)
-          Warna Arab-Islam cukup dominan
Namun berbeda halnya dengan contoh singir berikut yang merupakan singir yang telah mengalami proses transformasi dari rubai ke matsnawi yang disebabkan oelh bentuk puisi Arab yang berbentuk nazam. Nazam adalah bentuk puisi Arab paling populer di pesantren tradisional. 
Contoh singir matsnawi:
Pahesira kaya taat ora wenang
Riya syirik kudu murni maring lanang
Pahes ngedher kaya taat lawan liya
Taat syirik mitsal paes kerana liya
(Singir Nasehat Kanca Wadon, dalam Basuki, 1988: 38)
Contoh nazam:
Qala Muhammadun huwa ‘bnu Maliki
Ahmadu rabbiya ‘llahi khaira maliki
Mushalliya ‘ala ‘nnabiyyi ‘l-musthofa
Wa alihi ‘l-mustakmilina ‘sy-syarafa
(Alfiyah Ibnu Malik dalam Musthafa, 1407H: 2).
Sebagai puisi Jawa baru, singir juga memiliki perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan dengan puisi Jawa baru yang lain seperti tembang macapat, parikan, maupun geguritan. Tembang macapat memiliki ikatan dan struktur yang sangat rumit. Jenis puisi ini amat terikat oleh aturan guru lagu (parokan bunyi akhir), guru wilangan (jumlah suku kata tiap baris), jumlah gatra (baris sajak), serta harus mempertimbangkan purwakanti guru swara (persamaan bunyi atau sajak), dan purwakanti guru sastra (persamaan huruf mati atau sajak rangka). Di samping itu, jenis tembang amat beragam dan masing-masing tembang memiliki patokan guru lagu, guru wilangan, jumkah gatra dan karakter psikologis yang berbeda pula (Darnawi, 1964:13-15 dari kutipan pak muzakka). Dalam singir, tidak ditemukan hal seperti yang telah disebutkan di atas.
Muzakka (1999) dan Muzakka dkk. (2002) menemukan tiga fungsi utama singir, yaitu fungsi hiburan, fungsi pendidikan dan pengajaran, dan fungsi spiritual. Fungsi hiburan muncul karena hadirnya singir dalam khazanah sastra selalu dinyanyikan baik dengan iringan musik tertentu maupun tidak; fungsi pendidikan dan pengajaran munxul karena di samping singir mengekspresikan nilai-nilai dedaktis, yakni pendidikan nilai-nilai moral Islam dan pengetahuan Islam yang kompleks, singir juga digunakan sebagai bahan ajar dan atau media pengajaran di kalangan masyarakat santri. Fungsi spiritual muncul karena sebagian besar singir diberlakukan penggunaannya semata-mata sebagai upaya penghambaan diri (ibadah) kepada Tuhan yakni untuk mempertebal rasa keimanan dan ketakwaan. (Muzakka, 2010)
2)      Karya Sastra Kuno yang Diabadikan pada Relief Candi-candi Abad Ke-13 – 15 M
Pada dinding kaki candi-candi Hindu atau Buddha yang terdapat di Jawa terdapat hiasan ornamental yang turut memperindah bangunan suci masa lalu tersebut. Hiasan ornamental yang dimaksud dalam kajian ini adalah relief naratif yang umumnya menggambarkan cerita keagamaan dan pendidikan. Namun ada juga yang latar belakang ceritanya adalah kisah romantis atau bahkan sesuatu cerita yang belum dikenal.
Kajian ini berupaya untuk menjelaskan masalah-masalah yang berkenaan dengan pemahatan karya sastra Jawa Kuno ke dalam bentuk relief. Seni relief masa Jawa kuno secara garis besar dapat dibagi dua gaya, yaitu (a) gaya Klasik Tua (abad ke-8 – 11 M), contohnya relief-relief yang dijumpai pada candi-candi di wilayah Jawa Tengah (relief cerita di candi Borobudur dan Prambanan), dan (b) gaya Klasik Muda (abad ke-11 – 15 M), contohnya adalah relief-relief cerita yang dipahatkan pada candi-candi zaman Singhasari dan Majapahit.
Ciri-ciri penggambaran relief bergaya Klasik Muda adalah sebagai berikut:
-          Relief dipahatkan dalam bentuk rendah (bas-relief), pengerjaan relief hanya pada ¼ dari ketebalan media yang umumnya balok batu.
-          Penggambaran figur manusia, hewan, dan tumbuhan bersifat simbolis, artinya tidak seperti apa adanya (naturalis). Penggambaran figur kerapkali tidak proporsional, kaku, bahkan sangat mirip dengan wayang kulit.
-          Tokoh-tokoh selalu digambarkan menghadap ke samping, sebagaimana layaknya wayang kulit; keadaan demikian lazim disebut dengan en-profile.
-          Adanya kecenderungan untuk mengisi seluruh panil dengan berbagai bentuk lain di luar tokoh-tokoh utama. Hal ini sering disebut dengan adanya horror vaquum pada gaya Klasik Muda.
Adapun mengenai isi/tema ceritanya, mempunyai ciri tersendiri pula, yaitu:
-          Cerita digambarkan fragmentaris, tidak lengkap dari awal hingga akhir kisah.
-          Tema umumnya bersifat roman percintaan, pelepasan dari derita, pertemuan dengan dewata, dan hanya sedikit yang bersifat epos.
-          Acuan cerita tidak semata-mata karya sastra dari sumber India (Ramayana dan Mahabharata) melainkan ada juga sadurannya (misalnya Arjunawiwaha dan Sudhamala  bahkan juga cerita gubahan pujangga Jawa Kuna sendiri (seperti Sri Tanjung, Panji, dan Bhubuksah-Gagangaking). (Munandar, 2004)
3)      Mistisme Islam Jawa dalam Serat Sastra Gendhing
Karya sastra yang mengandung ajaran mistik sudah mulai berkembang di kawasan Nusantara sejak kerajaan Demak. Simuh (1995:52-53) menyatakan bahwa isi karya sastra Nusantara banyak diwarnai oleh pemikiran Abu Yazid al Bustami, Husen bin Mansur al Hallaj, Ibn Arabi dan Muhammad Ibn Fadhilah. Sangidu (2004:67) menjelaskan bahwa beberapa ulama Aceh mempunyai pengaruh signifikan dalam perkembangan sastra mistik Jawa, diantaranya: Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nurrudin Ar Raniri, dan Abdur Rauf al-Singkili. Di dalam struktur sosial kemasyarakatan pada masa itu, empat tokoh ulama tersebut memiliki posisi dan peran strategis karena mereka menjadi penasehat raja atau sultan.
Pemikiran Islam yang tercermin dan tertuang dalam karya sastra di Jawa mengalami perkembangan yang dinamis sesuai dengan perbedaan orientasi keagamaan serta perubahan tatanan sosial dan sistem pemerintahan. Dalam buku Paradigma Sosiologi Sastra karya Nyoman Kutha Ratna (2009: 77) dijelaskan bahwa genre karya sastra pada dasarnya mengikuti perubahan struktur masyarakat, karena sastrawan adalah seniman yang senantiasa berhubungan dengan institusi kemasyarakatan pada zamannya. Perbedaan kecenderungan orientasi yang muncul pada karya sastra Jawa ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain disebabkan oleh letak geografis, sistem pemerintahan yang sedang berjalan, ideologi yang berkembang di masyarakat, paham keagamaan dan sistem kepercayaan yang dianut oleh penguasa dan masyarakat. Karya sastra yang berkembang pada masa kerajaan Demak (sebagai salah satu contoh representasi kerajaan wilayah pesisiran) di Jawa memiliki orientasi yang berbeda dengan sastra yang berkembang pada masa kerajaan Mataram Islam (sebagai representasi dari wilayah pedalaman).
Salah satu serat yang lahir pada masa kerajaan Mataram Islam adalah Serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung. Serat Sastra Gending merupakan karya sastra Jawa yang sarat menggunakan bahasa simbolik. Pigeaud dalam bukunya yang berjudul Literature of Java jilid II (1968: 701) menjelaskan Sastra Gendhing is ascribed to Sultan Agung of Mataram on Muslim theology and mysticism and explanation of cryptic in verse. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Serat Sastra Gendhing merupakan serat yang menjelaskan dua disiplin ilmu yakni ilmu teologi dan mistik Islam. Dua disiplin ilmu tersebut diuraikan dengan menggunakan gaya puisi dalam bentuk macapat. Secara umum, Serat Sastra Gendhing diungkapkan dengan menggunakan bahasa-bahasa simbolik. Bahasa simbolik ini setidaknya bisa dilihat dari cara penulisnya memaknai kata sastra dan gendhing sebagaimana tertulis dalam pupuh Dandhang gula pada ke-13. Dalam pupuh tersebut Sastra diartikan sebagai Tuhan yang mencipta, sedangkan gendhing adalah makhluk yang dicipta. Keberadaan gendhing tentu harus mengikuti kehendak Sastra. Ketentuan tersebut dapat dipahami dalam penggalan pada 1 pupuh berikut ini :
marma sagung trah mataram,
kinen wignya tembang kawi,
jer wajib ugering gesang,
ngawruhi titining ngelmi,
kang tumraping praja di,
tembang kawi asalipun,
tan lya titining dumadi,
paugering dumadi,
nora ana kang liya tuduhing sastra
Artinya:
Maka semua rakyat Mataram
Disuruh mengetahui tembang kawi
Itu wajib patokan hidup
Mengetahui ilmu sampai tamat
Bagi kerajaannya
Tembang kawi asalnya
Tidak lain titisnya sastra
Pedoman hidup
Tidak ada lain petunjuk sastra
Dalam menjelaskan simbol-simbol dan kandungan isi yang terdapat dalam naskah Serat Sastra Gendhing, peneliti menggunakan metode hermeneutik yang dikembangkan Gadamer. Metode ini dianggap relevan untuk mengkaji naskah tersebut, karena ada unsur jarak kultural yang terjadi antara penulis serat tersebut dengan dunia pembaca sekarang, sebagai salah satu tuntutan metodologis. Secara metodologis, kajian hermeneutik menekankan pada tiga aspek kajian yaitu aspek penulis, aspek teks, dan aspek konteks (dalam Palmer, 2003: 31-33). Menurut Endraswara (2006: 43), pokok ajaran mistik Jawa mencakup tiga hal, yaitu sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula Gusti, dan memayu hayuning bawana. Tiga hal ini merupakan falsafah hidup yang harus dijadikan pedoman umum bagi manusia agar bisa menjaga keseimbangan batiniah seseorang.
Sangkan parning dumadi merupakan ajaran mistik Jawa di mana setiap manusia harus memahami tentang asal usul kehidupan serta meyakini keberadaan Tuhan. Manusia yang meyakini keberadaan Tuhan dan pandai bersyukur kepada-Nya pasti memiliki hati yang mulia dan berperilaku dengan baik. Hal ini disebabkan adanya keyakinan bahwa manusia akan kembali ke pangkuan Tuhan dan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya semasa hidup di dunia.
Manungaling kawula Gusti merupakan ajaran khas orang Jawa yang mengajarkan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan apabila dapat mengendalikan hawa nafsunya dengan cara menggunakan seluruh anggota tubuh yang dimiliki secara benar dan jujur.
Sedangkan memayu hayuning bawana merupakan ajaran orang Jawa agar menjaga kelestarian alam, menjaga kedamaian hidup dengan sesama, menjaga keseimbangan, serta meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela yang bisa mengganggu kenyamanan hidup orang lain. Manusia harus mengerjakan perbuatan terpuji dan meninghindarkan diri dari perbuatan tercela (Bukhori, 2012).

PENUTUP

Simpulan

Sastra Jawa merupakan bentuk sastra yang berkembang di daerah Jawa, tepatnya di pulau Jawa. Sastra Jawa sendiri mulai berkembang pada abad IX-XVII yaitu dengan ditandai adanya istilah sastra Jawa Kuno. Jenis-jenis sastra Jawa dibedakan berdasarkan bahasa dan kategori isi. Dari faktor bahasa, kita bisa mengenal istilah sastra Jawa Kuna, sastra Jawa Tengahan, sastra Jawa Baru, dan sastra Jawa Modern. Sastra Jawa Kuno (abad IX-XVII) berkembang pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa (Mataram Hindu sampai dengan Majapahit). Beberapa dari karya besarnya adalah Ramayana, Arjunawiwaha, Hariwangsa, dan lain sebagainya. Sastra Jawa Tengahan (abad XVI, masa akhir Majapahit sampai masuknya Islam ke Jawa). Karyanya sebagian besar dalam bentuk kidung (puisi). Sastra Jawa Baru dimulai sejak masuknya Islam ke Jawa. Karya yang terkenal berupa sastra lisan yang berbentuk cerita rakyat, sedangkan sastra tulisnya disebut dengan Sastra Kepujanggaan (banyak ditulis oleh pujangga kerajaan). Sastra Jawa Modern ditandai dengan berkembangnya penerbit-penerbit dan surat kabar, seperti Balai Pustaka (1917), Surat Khabar Bromartani (1885), dan lain sebagainya. Karyanya banyak berupa kisah perjalanan.
Dari faktor kategori sendiri, dikenal beberapa istilah, diantaranya sejarah, silsilah, hukum, bab wayang, sastra wayang, dan sastra, keunikan sastra Jawa banyak dipengaruhi oelh kebudayaan dan adat istiadat dari daerah setempat. Menurut Koentjoroningrat (1983) unsur kebudayaan terbagi atas tujuh unsur secara universal, diantaranya adalah sistem religi, sistem organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem teknologi dan peralatan, serta bahasa dan kesenian. Dari ketujuh unsur tersebut, dapat diperolehlah beberapa keunikan dari berbagai daerah di Jawa.
Dari tokoh sastra sendiri, banyak dikenal para pujangga ternama di masanya. Di masa sastra Jawa baru, diawali dengan pujangga Pangeran Adilangu/Kadilangu II. Beliau merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Di masa sastra Jawa Modern, diawali dengan Ki Padmosusastra. Beliau mendapat julukan “Wong mardika kang marsudi kasustran Jawa” oleh Imam Supardi. Karyanya lebih banyak dalam bentuk prosa daripada puisi. Contoh kajian sastra Jawa yang dibahas sendiri berupa Kajian Puisi Singir, Karya Sastra Kuno yang Diabadikan pada Relief Candi-candi Abad ke-13 – 15 M, dan Mistisme Islam Jawa dalam Serat Sastra Gendhing.
Untuk sastra Jawa yang berkembang hingga saat ini tak banyak masyarakat yang mengenalnya. Namun masih terdapat beberapa peneliti-peneliti yang mengkaji sastra Jawa Kuno, sastra Jawa Tengahan, sastra Jawa baru, serta sastra Jawa Modern, karena keunikan yang dimiliki dari beberapa bentuk karya sastranya. Walaupun begitu, minat masyarakat terhadap kebudayaan dan sastra Jawa masih cukup banyak. Yaitu untuk karya sastra Jawa yang berupa puisi Jawa, cerita rakyat, dan lain sebagainya.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Bukhori, Z. (2012, September 15). Eprints Walisongo. Retrieved Maret 28, 2015, from Eprints Walisongo Web Site: http://eprints.walisongo.ac.id/4/1/Zaenuddin_Bukhari_Ringkasan_Disertasi.pdf
Dr. Purwadi, M. (2009, November 9). Rumah Einstein. Retrieved Maret 29, 2015, from Rumah Enstein Web site: http://www.rumaheinstein.com/sites/default/files/ebooks/11.07-Sejarah%20Sastra%20Jawa.pdf
Drs. Aloysius Indratmo, M. (2009). uns. Retrieved Maret 20, 2015, from si.uns.ac.id: http://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/196302121988031002DUNIA%20SASTRA%20JAWA.doc
Munandar, A. A. (2004, Agustus). Journal UI. Retrieved Maret 20, 2015, from Journal UI Web site: journal.ui.ac.id/index,php/humanities/article/viewFile/87/83
Muzakka, M. (2010, Januari 28). eprints undip. Retrieved Maret 20, 2015, from Undip Web site: http://eprints.undip.ac.id/5966/
Widayat, D. A. (2006, Maret 2006). Staff UNY. Retrieved Maret 30, 2015, from Staff UNY Web site: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs-afendy-widayat-mphil/diktatteori-sastra-jawa.pdf
Rusyan. 1987. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.
Atar, Semi. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Kusnadi. Cerita Rakyat Pesisiran Jawa Timur Perspektif Antropoligis. Jember.
Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Ayu  Sutarto.  "Studi  Pemeetaan  kebudayaan Jawa Timur" (Studi  Deskkriptif  Pembagian  10  (sepuluh)  sub  kebudayaan  Jawa  Timur).  2004.  Program  Studi  Antropologi.  FISIP-Universitas  Jember.

0 komentar:

Posting Komentar