Jumat, 01 Mei 2015

Sastra Nusantara | Sastra Melayu


 Definisi Sastra Melayu

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Budianta, 2013 : 3). Sedangkan arti Melayu dari perkataan “Mala” artinya “mula” dan “Yu” artinya “negeri”, seperti terdapat nama “Ganggayu” artinya negeri yang bermisbah (berasal) kepada kebesaran Gangga ; Langkuyu dan Klangkyu (Husny, 1986 : 14).
Oleh :
 1. FRANSISKA
 2. PITRI AMALIA 
 3. QOTRUN NADA 
 4.  VENY EMILIA ULFA

 Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
 
Sejarah Bahasa Melayu
Bahasa Melayu adalah bahasa resmi tulis yang digunakan di istana istana dan dalam agama, seperti Bahasa Latin. Dan saat yang sama merupakan bahasa yang dipakai untuk menjalankan tugas sehari-hari, bahasa perdagangan, dan bahasa interaksi masyarakat di pasar dan pelabuhan, seperti Lingua Franca di Levant. Dengan demikian menyamakan Bahasa Melayu dengan bahasa apapun di Eropa pada saat itu adalah tidak mungkin. Peran dan posisi Bahasa Melayu benar-benar melampaui cakupan fungsi dari bahasa-bahasa yang diketahui yang ada di Eropa. Bahasa ini, seperti kata tapir dan orang outang serta banyak kejaiban lain di Asia Tenggara, tidak dapat digambarkan hanya dengan satu kiasan (Collins, 2005: 32). 
Bahasa Melayu  adalah anggota terpenting dari kerabat Bahasa Austronesia yang memiliki batasan luas, diluncurkan dari peradaban Asia Timur pada sepuluh ribu tahun yang lalu. Bahasa Austronesia terbentuk di pulau asalnya Taiwan (Collins, 2005: 1).
Pada abad ke-8, ketika Bede menulis komentarnya dalam Caedmon’s Hymn to the Creator dan ketika teks pertama dari Beowulf ditulis dalam Bahasa Inggris Kuno, teks tertua dari Bahasa Melayu ( tahun 682 ) selesai ditulis di atas batu di Sumatera. Sebagaimana teks Bahasa Inggris Kuno yang ditulis dalam bahasa asing yakni alfabet Latin, yang diadaptasi ke dalam bahasa itu, para ahli menulis bahwa Bahasa Melayu Kuno mengadaptasi ortografi India berdasarkan tulisan Palawa ( tulisan India yang pernah digunakan untuk teks Bahasa Sankskerta) untuk merekam teks mereka. Setiap tradisi ortografi ini, Bahasa Latin dan Bahasa Sanskerta dihubungkan dengan biara dan tempat suci agama yang menyebarkan ajarannya dengan tradisi tulisan tersebut : agama Kristen di Inggris dan agama Hidhu atau agama Budha di Sumatera (Collins, 2005: 8).
Apabila kita ingin mengetahui asal-usul suatu bahasa, kita perlu mengetahui asal bangsa yang menjadi penutur utama bahasa tersebut. Hal ini dikarenakan bahasa itu dilahirkan oleh masyarakat penggunanya dan pengguna bahasa itu membawa bahasanya kemana pun ia pergi. Demikian juga halnya dengan bahasa Melayu. Apabila kita ingin mengetahui asal-usul bahasa Melayu, maka kita perlu menelusuri asal-usul bangsa Melayu (Harahap, 1992 : 3).
Berasal dari Asia Tengah                       
R. H. Geldern ialah seorang ahli prasejarah dan menjadi guru besar di Iranian Institute and School for Asiatic Studies telah membuat kajian tentang asal-usul bangsa Melayu. Sarjana yang berasal dari Wien Austria ini telah membuat kajian terhadap kapak tua (beliung batu). Beliau menemukan kapak yang dibuat di batu sekitar hulu Sungai Brahmaputra, Irrawaddy, Salween, Yangtze, dan Hwang. Bentuk dan jenis kapak yang sama, beliau temukan juga di beberapa tempat di kawasan Nusantara. Gerldern menyimpulkan, bahwa kapak tua tersebut di bawa oleh orang Asia Tengah ke Kepulauan Melayu ini (Harahap, 1992 : 3).
J.H.C. Kern ialah seorang ahli filologi Belanda yang berada di bidang bahasa Sansekerta dan berbagai bahasa Austronesia dan membuat kajian berdasarkan beberapa perkataan yang digunakan sehari-hari terutama nama-nama tumbuhan, hewan, dan nama perahu. Beliau mendapati bahwa perkataan yang terdapat di Kepulauan Nusantara ini terdapat juga di Madagaskar, Filipina, Taiwan, dan beberapa pulau di Lautan Pasifik. Perkataan tersebut antara lain : padi, buluh, rotan, nyiur, pisang, pandan, dan ubi. Kern berpendapat bahwa bahasa Melayu berasal dari satu induk di Asia (Harahap, 1992 : 3).
Bahasa Melayu modern berasal dari bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Klasik bersal dari bahasa Melayu Induk. Bahasa Melayu Induk berasal dari bahasa Melayu Purba yang merupakan asal dari bahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu Modern bukan merupakan pengembangan dari dialek Johor-Riau dan bahasa Melayu Modern tidak begitu dekat hubungannya dengan dialek yang lain (Da, Db, dan Dn). Dialek yang lain berasal dari Melayu Induk (Harahap, 1992 : 4).
            Berikut adalah cara perpindahan orang Melayu dari asia Tengah :
                        Orang Negrito
Menurut Asmah Haji Omar, sebelum perpindahan penduduk dari Asia berlaku, Kepulauan (Nusantara) ini telah ada penghuninya yang kemudian dinamai sebagai penduduk asli. Ahli sejarah berpendapat, bahwa mereka yang tinggal di Semenanjung Tanah Melayu ini dikenali sebagai orang Negrito. Orang Negrito ini diperkirakan telah ada sejak tahun 8000 SM (Sebelum Masehi). Mereka tinggal di dalam gua dan mata pencaharian mereka memburu binatang. Alat perburuan mereka terbuat dari batu dan zaman ini disebut Zaman Batu Pertengahan.
                        Melayu-Proto
Orang Melayu berasal dari Asia Tengah. Perpindahan tersebut (yang pertama) diperkirakan pada tahun 2500 SM. Mereka itu kemudian dinamakan sebagai Melayu-Proto. Perdaban orang Melayu-Proto lebih maju sedikit daripada orang Negrito. Mereka telah pandai membuat alat untuk bercocok tanam, membuat barabg pecah belah, dan alat perhiasan. Kehidupan mereka berpindah-pindah. Zaman ini dinamakan Zaman Neolitik atau Zaman Batu Baru.
                        Melayu-Deutro
Perpindahan penduduk yang kedua dari Asia (dari daerah Yunani) diperkirakan berlaku pada tahun 1500 SM. Mereka dinamai Melayu-Deutro. Mereka mempunyai peradaban yang lebih maju sedikit dari Melayu-Proto. Melayu-Deutro telah mengenal budaya logam. Mereka telah menggunakan alat perburuan dan pertanian dari besi. Zaman ini dinamakn Zaman Logam. Mereka hidup di tepi pantai dan menyebar hampir di seluruh Kepulauan Melayu (Harahap, 1992 : 4).
            Berasal dari Nusantara
Secara khusus, penyebaran bahasa Melayu itu dapat dilihat di sepanjang pantai barat Semenanjung tanah Melayu ; di Pulau Jawa terdapat dialek Jakarta (Melayu-Betawi), bahasa Melayu Kampung di Bali, bahasa Melayu di Kalimantan Barat, bahasa Melayu Banjar di Kalimantan Barat dan Selatan, Sabah, Sarawak, dan bahasa Melayu di Pulau Seram.
Pendapat Marsden bahwa bahasa Melayu yang termasuk rumpun bahasa Nusantara, serumpun dengan bahasa Mikronesia, Melanesia. Sedangkan Polinesia, dengan induknya bahasa Austronesia secara tidak langsung memperlihatkan adanya kekerabatan dua bahasa tersebut yang tidak ditemui di Asia Tengah. Penyebaran Austronesia juga terlihat hanya bagian pesisir pantai timur (Lautan Pasifik), pantai barat (Lautan Hindi), dan Selatan Asia (Kawasan Nusantara) dan tidak masuk ke wilayah Asia Tengah (Harahap, 1992 : 6).
Berkurun lamanya orang yang tinggal di alam Melayu ini hidup berkelompok tanpa berhubungan dengan kelompok yang lain. Mereka dipisahkan oleh gunung-ganang dan lautan yang luas. Walaupun pada mulanya mereka satu asal tetapi kerana terputusnya hubungan di antara satu kelompok dengan kelompok yang lain dalam masa yang sangat lama, maka setiap kelompok mengatur cara hidup dan menggunakan pertuturan mereka sendiri sesuai dengan keadaan alam dan keperluan hidup mereka masing-masing. Akibat keadaan inilah timbulnya suku bangsa dan bahasa yang terdapat di Indonesia dan pelbagai logat/dialek bahasa Melayu di Tanah Semenanjung.
Sebelum ditemui bukti sejarah berupa tulisan pada batu bersurat tentulah bahasa Melayu telah digunakan untuk masa yang panjang kerana didapati bahasa yang ada pada batu bersurat kemudiannya sudah agak tersusun pembinaan kata dan pembinaan ayatnya dan juga sudah kuat pengaruhnya sehingga orang India yang menulis perkataan pada batu bersurat tersebut yang menggunakan aksara Sanskrit memasukkan juga beberapa perkataan Melayu. Untuk memberi nama pada bahasa yang tidak mempunyai bukti sejarah tersebut (sebelum bahasa orang India masuk ke Nusantara), ia diberi nama bahasa Melayu Purba (Harahap, 1992 : 8).
Berabad-abad sebelum Masehi, Selat Melaka telah digunakan oleh pedagang  Arab sebagai laluan pelayarannya membawa barang perniagaan dari Tiongkok, Sumatera, dan India ke Pelabuhan Yaman. Dari Sumatera hasil yang paling utama mereka beli ialah rempah kerana rempah ini merupakan keperluan yang penting bagi orang Arab di Saba' (Kerajaan Saba' wujud di antara 115-950 SM). Pelabuhan di Sumatera pula mendapat bekalan rempah ini dari Pulau Maluku di samping Aceh yang sudah terkenal hasil rempahnya ke dunia Arab.
Pedagang Arab yang dimaksudkan di sini tidak semestinya beragama Islam kerana hubungan di antara Arab dan alam Melayu telah wujud sejak zaman sebelum munculnya Islam. Penggunaan kapur barus untuk mengawetkan mayat (mummi) yang disimpan di dalam piramid pada Zaman Mesir Kuno dikatakan diambil dari Barus (nama tempat) di Pulau Sumatera.
Pada abad pertama, barulah pedagang dari India belayar ke timur menuju Tiongkok dan pedagang Tiongkok pula belayar ke barat menuju India. Pelayaran dua hala ini mengharuskan mereka melalui Selat Melaka. Lama-kelamaan pelabuhan yang ada di Kepulauan Melayu ini bukan sahaja sebagai tempat persinggahan tetapi menjadi tempat perdagangan pedagang India dan Tiongkok seperti yang telah dirintis lebih awal oleh pedagang Arab. Di samping itu juga para mubaligh terutama mubaligh India turut datang ke Kepulauan Melayu ini untuk menyebarkan agama Hindu. Kedatangan para pedagang dan penyebar agama ini mengakibatkan bahasa Melayu Purba mendapat pengaruh baru. Bahasa Melayu Purba ini kemudian dinamai sebagai bahasa Melayu Kuno (Harahap, 1992 : 8).
           Bukti Tertulis Melayu Kuno
Batu Bersurat
Bukti bertulis yang tertua tentang bahasa Melayu Kuno ini terdapat di beberapa buah prasasti (batu bersurat). Yang terpenting di antara batu bersurat tersebut ialah :
Batu Bersurat Kedukan Bukit (Palembang)
Pada 605 Tahun Saka, bersamaan dengan 683 M (Masehi). Tulisan yang terdapat pada Batu Bersurat ini menggunakan huruf Palava (lihat lampiran 2). Batu Bersurat Kedukan Bukit. Bahasa yang terdapat pada Batu Bersurat Kedukan Bukit tersebut ditulis dengan menggunakan huruf Palava, iaitu sejenis tulisan India Selatan Purba bagi penyebaran agama Hindu. Setelah ditransliterasikan ke huruf rumi tulisan tersebut adalah seperti yang berikut ini (dengan sedikit pengubahsuaian susunan dan bentuk, seperti c dibaca sy):
Svasti cri
cakavarsatita 605 ekadaci
cuklapaksa vulan vaicakha daputa
hyang nayik di samvau mangalap
siddhayatra
di saptami cuklapaksa
vulan jyestha dapunta hyang marlapas
dari minana Tamvar (Kamvar)
mamava yang vala dua laksa
ko dua ratus cara di samvau
dangan jalan sarivu tlu ratus sapulu dua vanakna
datang di matada (nau) sukhacitta
di pancami cuklapaksa vulan asada
laghu mudita datang
marvuat vanua ... Crivijaya
jaya siddhayatra subhika ...
Daripada transliterasi ini jelas terlihat walaupun pernyataan yang ingin disampaikan itu berkenaan dengan Raja Sriwijaya yang menganuti fahaman Hindu tetapi pengaruh bahasa Melayu terhadap bahasa Sanskrit sudah demikian meluas.
Jika kita bandingkan bahasa Melayu Kuno di atas dengan bahasa Melayu kini, kita akan mendapati perubahan pembentukan bunyi dan perkataan seperti yang berikut ini:
vulan = bulan
nayik = naik
samvau = sampau = sampan (maksudnya perahu yang besar)
mangalap = mengambil (maksudnya mencari)
marlapas = berlepas
mamava = membawa
vala = bala = balatentera
laksa = (menyatakan jumlah yang tidak terkira banyaknya)
dangan = dengan
sarivu = seribu
tlu = telu = tiga
sapuluh dua = sepuluh dua = dua belas
vanakna = banyaknya
sukhacitta = sukacita
marvuat = berbuat
vanua = benua = negeri
ko = ke
Jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Melayu isi Batu Bersurat Kedukan Bukit ini lebih kurang seperti yang berikut ini:
Selamat bahagia
pada tahun saka 605 hari kesebelas
dari bulan terang bulan waisaka daputa
baginda naik perahu mencari
rezeki
pada hari ketujuh bulan terang
bulan jyesta dapunta baginda berlepas
dari muara Kampar
membawa askar dua laksa
dua ratus orang di perahu
yang berjalan seribu tiga ratus dua belas banyaknya
datang di matada dengan suka cita
pada hari kelima bulan terang bulan asada
dengan lega datang
membuat negeri ... Seriwijaya

yang berjaya, yang bahagia, yang makmur.
Batu Bersurat Talang Tuwo (Palembang)
Pada 606 Tahun Saka, bersamaan dengan 684 M. Batu Bersurat ini ditemui oleh Residen Westenenk, 17 November 1920 di sebuah kawasan bernama Talang Tuwo, di sebelah barat daya Bukit Siguntang, iaitu lebih kurang 8 km dari Palembang. Batu Bersurat Talang Tuwo. Kita perhatikan pula bahasa yang terdapat pada Batu Bersurat Talang Tuwo yang telah ditransliterasikan ini:
Svasti.
cri cakavarsatita 606 dim dvitiya cuklapaksa vulan caitra.
sana tatkalana parlak Criksetra ini.
niparvuat parvan dapunta hyang Cri Yayanaca (-ga) ini pranidhanan dapunta hyang savanakna yang nitanam di sini.
niyur pinang hanau rumviya dngan samicrana yang kayu nimakan vuahna.
tathapi haur vuluh pattung ityevamadi.
punarapi yang varlak verkan dngan savad tlaga savanakna yang vualtku sucarita paravis prayojanakan punyana sarvvasatva sacaracara.
varopayana tmu sukha di asannakala di antara margga lai.
tmu muah ya ahara dngan air niminumna.
savanakna vuatna huma parlak mancak muah ya manghidupi pacu prakara.
marhulun tuvi vrddhi muah ya jangam ya niknai savanakna yang upasargga.
pidana svapnavighna.
varang vuatana kathamapi.
anukula yang graha naksatra pravis diya.
Nirvyadhi ajara kavuatanana.
tathapi savanakna yam khrtyana satyarjjava drdhabhakti muah ya dya.
yang mitrana tuvi janan ya kapata yang vivina mulang anukala bharyya muah ya.
varamsthanana lagi curi ucca vadhana paradara di sana punarapi tmu ya kalyanamitra.
marvvangun vodhicitta dngan maitridhari di dang hyang ratnaraya jangan marsarak dngan dang hyang ratnaraya.
tathapi nityakala tyaga marcila ksanti marvvangun viryya rajin tahu di samicrana cilpakala paravis.
samahitacinta.
tmu ya prajna smrti medhavi.
punarapi dhairyyamani mahasattva vajracarira.
anubamacakti.
jaya tathapi jatismara.
avikalendriya.
mancak rupa.
subjaga hasin halap.
ade yavakya vrahmasvara.
jadi laki.
svayambtu.
puna (ra) pi tmu ya cintamaninidhana tmu janmavacita. karmmavacita clecavacita
avasana tmu ya anuttarabhisamyaksam vodhi.
Bahasa Melayu Kuno yang dapat kita kesan daripada batu bersurat di atas di antara lain ialah:
vulan = bulan
tatkalana = tatkalanya
nivarbuat = diperbuat
savanakna = sebanyaknya
nitanam = ditanam
niyur = nyiur
hanau = enau
rumvia = rumbia
dngan = dengan
nimakan = dimakan
vuahna = buahnya
tathapi = tetapi
haur = aur
vuluh = buluh
pattung = betung
tlaga = telaga
punyana = punyanya
tmu      = temu, bertemu
margga = marga
sukha = suka
niminumna = diminumnya
savanakna = sebanyaknya, sebanyak-banyaknya
vuatna = buatnya
manghidupi = menghidupi
prakara = perkara
varang = barang
vuatana = buatannya
marvvangun = membangun
Harun Aminurrashid mengutip terjemahan Slametmuljana berkenaan dengan bahasa yang terdapat pada Batu Bersurat Talang Tuwo tersebut adalah seperti yang berikut ini:
Bahagia! Tahun Saka 606 pada hari kedua bulan terang caitra, itulah waktunya taman Sriksetra ini diperbuat, milik Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Ini Pesan Dapunta Hyang: Semuanya yang ditanam di sini; nyiur, pinang, enau, rumbia dan lain-lain yang (berupa) pohon, dimakan buahnya, serta aur, buluh betung dan yang semacam itu. Demikian pula taman-taman lainnya dengan tebat telaga, semuanya yang kuperbuat, semua perbuatan baik, dimaksud untuk kebahagiaan semua makhluk yang bergerak dan tidak bergerak. Hendaklah daya upaya beliau yang sangat baik itu mendapat kesukaan di kemudian hari dengan jalan lain. Semoga beliau mendapatlah makanan dan air untuk minumnya. Semuanya yang dibuatnya; ladang, kebun luas, menghidupi binatang-binatang, ramai para abdi suburlah. Jauhkanlah beliau dari segala bencana, siksaan dan penyakit tidak dapat tidur. Bagaimanapun barang usahanya hendaknya berhasil baik, binatang-binatang lengkap semua, beliau dari sakit, dibuat awet muda. Dan lagi hendaklah semua yang disebut abdi setia baktilah mereka pada beliau. Yang menjadi sahabat beliau janganlah mereka itu menderhaka pada beliau; yang menjadi bini beliau hendaklah tetap setia sebagai isteri pada beliau. Di manapun beliau berada, janganlah dilakukan curi, curang, bunuh dan zina di situ. Dan lagi, hendaklah beliau bertemu dengan khalyanamitra, membangun bodhichita dengan maitri, menjadi pertapa pada dang hyang Ratnatraya, melainkan sentiasa teguh bersila dengan senang membangun tenaga, keuliten, pengetahuan tentang perbezaan semua sipakala dan pemusatan fikiran. Mudah-mudahan beliau memperoleh pengetahuan, ingatan dan kecerdasan dan lagi ketetapan mahasatwa badan manikam vajracarira yang sakti tanpa upama, kemenangan, dan lagi ingatan kepada kelahiran yang sudah lampau, indria lengkap, rupa penuh, kebahagiaan, kegembiraan, ketenangan, kata manis, suara Brahma, jadi lelaki kerana kekuatannya sendiri, hendaklah beliau memperoleh cintamaninidhara, memperoleh janmawacita, karmmawacita, akhirnya beliau mendapat anuttarabisamyaksambodhi.
Dari terjemahan ini jelas pada kita bahwa bahasa Sanskrit yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dikekalkan dalam bahasa asalnya.
Batu Bersurat Kota Kapur (Bangka)
Pada 608 Tahun Saka, bersamaan dengan 686 M. Pada Batu Bersurat Kota Kapur perkataan/bahasa Melayu telah lebih banyak ditemui dan unsur bahasa Sanskrit semakin berkurang. Beberapa perkataan bahasa Melayu Kuno sebahagian telah memperlihatkan irasnya dan sebahagian lagi kekal digunakan hingga kini, seperti: abai, aku, batu, banyak, benua, beri, buat, bulan, bunuh, datu, dengan, di dalam, dosanya, durhaka, gelar, hamba, jahat, jangan, kait, kasihan, kedatuan, keliwat, kita, lawan, maka, mati, merdeka, mula, orang, pahat, persumpahan, pulang, roga, sakit, suruh, tapik, tambal, tatkalanya, tetapi, tida, tuba, ujar, ulang, ulu, dan yang. Imbuhan awalan ialah: ni-, di-, mar-, par-, ka-. Imbuhan akhiran pula ialah: -i dan -an.
Batu Bersurat Karang Brahi (Jambi)
Pada 614 Tahun Saka, bersamaan dengan 692 M. Bukti bertulis yang terdapat pada batu bersurat ini merupakan salah satu batu bersurat terpenting, namun tidak banyak maklumat yang diketahui dengan pasti tentang bahasa Melayu Kuno pada batu bersurat ini.
Di samping batu bersurat yang telah dinyatakan di atas sebenarnya ada lagi batu bersurat yang agak penting diketahui, iaitu Batu Bersurat Pagar Ruyung (1356 M) di Sumatera Barat. Pada batu bersurat ini tertulis beberapa sajak Sanskrit dengan sedikit prosa Melayu Kuno dengan menggunakan huruf India dan satu lagi di Aceh yang dinamai Batu Nisan Minye Tujuh. Batu nisan ini bertarikh 1380 M dan ditulis dengan tulisan India, menggunakan bahasa Melayu, Sanskrit, dan Arab.
Perkembangan Kesusastraan Melayu
Pada zaman awal kehidupan masyarakat Melayu, mereka belum memiliki kemahiran menulis. Semua perhubungan dilakukan dengan cara lisan. Pada waktu itu juga mereka masih menganuti fahaman animisme. Oleh kerana mereka percaya bahawa hantu, jin, jembalang, atau penunggu; maka sesuatu benda yang besar seperti pokok besar, bukit besar, atau apa sahaja benda yang mengagumkan akan mereka sembah.
Pada masa inilah kedudukan pawang sangat dihormati. Pawang, yang pada mulanya mendapat ilmu pengetahuan secara semula jadi itu menjadi tempat bertanya bagi menyelesaikan semua kemusykilan dan meminta ubat bagi orang yang sakit. Bagi keperluan ini, Pawang menggunakan mantera, jampi, atau kata-kata hikmat yang lain dengan bahasa yang teratur, indah, dan berkesan. Pawang ini kemudian menurunkan ilmunya kepada orang yang paling dipercayainya. Penurunan ilmu ini adalah dengan cara hafaz dan amalan. Biasanya tidak semua ilmu yang dimiliki oleh pawang itu akan diturunkannya kepada muridnya dan ada pula murid yang mahu belajar secara khusus saja sehingga timbullah datu (orang yang pandai mengobati orang sakit), dukun (orang yang pandai membuat orang sehat menjadi sakit), dalang (orang yang pandai bercerita), dan kemahiran lainnya.
Di antara kemahiran yang disebutkan di atas, dalang atau pencerita menjadi orang yang terkenal. Ia bebas mengembara ke mana-mana menyebarkan ceritanya. Masyarakat waktu itu memberi layanan yang istimewa kepada pencerita. Di mana sahaja pencerita berada, orang kampung akan berduyun-duyun mendengar cerita yang biasanya berbentuk penglipur lara. Ia kemudian dikenali sebagai pelipur lara.
Pelipur lara yang terkenal bijak ini bukan sahaja menyampaikan ceritanya apabila sampai di sesuatu tempat. Sekali-sekala ia cuba juga menduga kepintaran orang di situ melalui teka-teki. "Satu di antara jenis hasil sastera Melayu yang terawal dan dipercayai terbitnya pada zaman orang Melayu belum memiliki kemahiran menulis, ialah teka-teki. Salah satu teka-teki yang terkenal ialah:
Gendang gendut tali kecapi   
Kenyang perut senanglah hati
Di antara cerita yang paling disukai oleh masyarakat pada masa itu ialah cerita tentang haiwan. Hal ini berkait rapat dengan kehidupan masyarakat yang suka berburu. Para pencerita pula akhirnya memanfaatkan cerita haiwan ini sebagai alat untuk menyampaikan pengajaran. Dengan kehalusan budi dan bahasanya si pencerita mengisahkan kehidupan haiwan untuk menceritakan hidup dan kehidupan manusia yang sebenarnya. Cara ini sangat berkesan. Orang yang kena sindir tidak marah dan orang lain mendapat teladan. Salah satu cerita yang paling digemari ialah cerita Sang Kancil.
Beberapa tahun kemudian, pengalaman masyarakat Melayu semakin bertambah. Para cerdik pandainya cuba memikirkan cara untuk merakamkan bahasa mereka. Pengalaman dan pengetahuan mereka tentang alam cukup luas. Oleh yang demikian, mereka mulai menulis dengan meniru cabang, ranting, potongan kayu, dan bentuk sungai. Lama-kelamaan terbentuklah tulisan yang kemudian dinamai sebagai Tulisan Rencong. Orang Melayu ketika itu menuliskan tulisannya pada kulit kayu, kulit binatang, batang buluh, atau daun lontar. Oleh yang demikian, ia tidak dapat bertahan lama kerana lama-kelamaan bendanya reput, hancur, atau tulisannya hilang. Bagaimanapun, huruf asli Melayu ini diperkirakan lebih awal daripada huruf Kawi dan huruf Wenggi yang ditemui di Nusantara ini terutama di Pulau Jawa. Orang Melayu yang sejak awal memang sebagai pelaut ulung, telah sampai ke mana-mana. Begitu juga dengan Si Pelipur Lara. Ia telah mendengar cerita yang dibawa oleh penyebar kepercayaan Hindu ke Nusantara ini. Ia pun melengkapkan ceritanya dengan cerita Hindu ini dengan mengubahsuaikan cerita asalnya menjadi corak tempatan. Dengan demikian, semakin berkembanglah kesusasteraan Melayu berbentuk lisan tersebut :
Kesusastraan Hindhu
Kedatangan saudagar dan mubaligh Hindu ke Nusantara ini terutama bertapak di Pulau Jawa. Para mubaligh tersebut memperkenalkan karya Mahabrata dan Ramayana kepada masyarakat tempatan. Karya Vyasa dan Valmiki pujangga India yang terkenal ini menarik perhatian pujangga istana di Jawa dan mereka menyalin bahagian yang mereka sukai.
Semasa Kerajaan Mataram di Jawa Tengah sedang jayanya, pujangga istana memang memiliki kedudukan yang istimewa. Mereka berpendapat bahawa peranan pujangga sama pentingnya dengan peranan mubaligh malahan mereka dapati melalui susastra penyebaran ilmu agama itu lebih berkesan dan mudah diterima oleh masyarakat. Sekitar tahun 925 M, iaitu semasa kejayaan Kerajaan Mataram, pujangga Yogiswara telah menyalin Ramayana ke dalam bahasa Jawa Kuno (tulisan Kawi). Semasa pemerintahan Raja Dharmawangsa (985-1006 M) pula, dilakukan penyalinan Mahabrata dan pada abad ke-11 disalin lagi dan diberi tajuk baru, iaitu Astadasaparwan.
Kesusastraan Jawa
Perkenalan pujangga istana dengan sastra Hindu ini telah melahirkan minat pujangga lain untuk menulis sendiri karya sasteranya. Semasa pemerintahan Airlangga, seorang pujangga bernama Mpu Kanwa mengarang syair (kekawin) yang diberinya nama Arjuna Wiwaha (sekitar tahun 1030 M). Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pula menulis Bharatayudha sekitar tahun 1157 M. Dalam abad ke-12, lahirlah buku Smaradhana karya Mpu Dharmajaya dan buku Arjuna Wijaya karya Mpu Tantular. Apabila Kerajaan Majapahit memperluas kekuasaannya hampir di seluruh Kepulauan Melayu termasuk Thailand, mereka cuba mempengaruhi masyarakat dengan memperkenalkan Cerita Panji, iaitu kisah keagungan Raja Majapahit. Cerita ini tidak dapat diterima oleh masyarakat terutama di luar Pulau Jawa kerana ia menggunakan bahasa Jawa Kuno. Para dalang yang mempersembahkan cerita ini melalui Wayang Gedok (wayang orang yang menggunakan topeng) mencari jalan lain. Sebelum mereka mempersembahkan Cerita Panji terlebih dahulu mereka belajar bahasa Melayu. Persembahan Wayang Gedok terutama di Sumatera kemudiannya menggunakan bahasa Melayu bercampur dengan bahasa Jawa. Secara langsung para dalang ini telah mengangkat bahasa Melayu dan lama-kelamaan beberapa perkataan bahasa Jawa yang sesuai diserap ke dalam bahasa Melayu. Cerita Panji telah mempengaruhi kesusasteraan dan bahasa Melayu sekitar tahun 1240 M.
Di antara Cerita Panji yang terkenal ialah: Hikayat Raja Kahuripan, Hikayat Mesa Taman Panji Wila Kesuma, Hikayat Mesa Kumitar, Hikayat Carang Kolina, Hikayat Rangga Rari, Hikayat Cekel Weneng Pati, Hikayat Prabu Jaya, Hikayat Kuda Semirang, dan Hikayat Panji Semirang. Di samping hikayat, kesusasteraan Jawa yang diperkenalkan kepada masyarakat Melayu di antara lain, ialah Syair Ken Tambuhan, Syair Lelakon Mesa Kumitar, Syair Undakan Agung Udaya, dan Syair Panji Semirang.
Sebagai gambaran, perhatikan contoh Cerita Panji yang dipetik daripada Hikayat Cekel Weneng Pati yang berikut ini:
Bahwa ini cerita orang dahulu kala dari pada bahasa Melayu dan Jawa, diceritakan oleh dalang dan bujangga yang parama kawi di tanah Jawa, dipindahkan dengan bahasa Melayu, maka akan jadi penghibur rasa yang dendam dilelakonkan. Dalam itupun masygul di mana 'kan hilang? Dendam pun tiada berbilang! Akan perinya juga pendalang katakan akan pemadam hati yang berahi; maka dalang panjangkan lelakon ini supaya menjadi tembang lanjut dan kidung dan kekawin segala yang arif bijaksana dari pada menyatakan 'asyikan dalam kalbu: hendak pun dikeluarkannya yang ada dalam hatinya itu tiada 'kan datang kebajikan kepadanya; oleh karena itulah maka dikarang hikayat ini bernama Cekel Weneng Pati ...."
Bahasa yang terlihat dalam kutipan di atas tidak dapat digunakan sebagai pedoman bahasa yang digunakan pada zaman mula-mula Cerita Panji diciptakan kerana para dalang mengubahsuaikan bahasanya sesuai dengan perkembangan bahasa yang diketahuinya. Menurut Baharuddin Zainal, naskhah Cerita Panji baru ditemui pada abad ke-15. Walau bagaimanapun, pernyataan yang mengatakan ia "berasal daripada bahasa Jawa dan ditukar ke dalam bahasa Melayu" penting untuk diketahui. Lagi pula, kutipan ini jelas memperlihatkan kepada kita bagaimana perkataan bahasa Jawa itu diserap menjadi bahasa Melayu.
                                     Kesusastraan Arab
            Seiring dengan penyebaran kesusastraan Hindu dan Jawa, kesusasteraan Arab juga turut berkembang di alam Melayu. Ini tidaklah menghairankan kerana orang Arab sudah sejak awal sampai di Kepulauan Melayu. Sejarah China mencatatkan bahawa pada tahun 977 M, seorang utusan yang beragama Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) telah mengunjungi negeri China yang datang dari Poni, iaitu sebuah negeri di alam Melayu.
            Pada mulanya, cerita Hindu yang sudah sedia ada dalam pengetahuan masyarakat Melayu dimasukkan unsur Islam. Dengan demikian, para pendengar mudah menerima pengetahuan Islam tersebut. Lama-kelamaan lahir pula cerita nabi, para sahabat, dan pahlawan Islam lainnya. Semuanya disampaikan secara lisan semasa menyebarkan agama. Naskhah bertulis berkenaan dengan kesusasteraan Islam baru ditemui pada abad ke-15 walaupun kesusasteraan Islam telah masuk ke alam Melayu jauh sebelum itu. Bahkan, istilah hikayat yang digunakan dalam kesusasteraan Hindu dan Jawa diambil daripada istilah bahasa Arab.
            Pengaruh bahasa Arab lebih jelas lagi dapat dilihat pada Batu Nisan Malik al-Saleh. Batu Nisan ini dipercayai dibawa dari negeri Kembayat (Kambodia). Tulisan yang terdapat pada batu nisan tersebut keseluruhannya menggunakan bahasa Arab. Isinya di antara lain menyatakan tarikh wafat Sultan Malik al-Saleh (Raja Pasai yang pertama memeluk agama Islam), iaitu bersamaan dengan tahun 1297 M. Ini bukanlah bermakna bahawa Batu Nisan Malik al-Saleh merupakan bukti pertama orang Nusantara ini memeluk Islam kerana di Leran, Gresik, Pulau Jawa terdapat batu nisan seorang wanita Islam bernama Fatimah bt. Maimun bertarikh 1082 M.
            Jika di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa ditemui batu nisan orang Islam, di Tanah Semenanjung atau tepatnya di Sungai Teresat, Kuala Berang di negeri Terengganu ditemui pula batu bersurat yang dinamai Batu Bersurat Kuala Berang bertarikh 1303 M. Batu bersurat ini ditulis dengan huruf Jawi. Tulisan Jawi ini mengambil huruf Arab dan menambah beberapa huruf lain sebagai melengkapi bunyi Melayu yang tidak terdapat dalam bahasa Arab.
Batu Bersurat Kuala Berang di atas ditulis pada empat bahagian.
Perhatikan bahasa yang tertulis pada salah satu bahagian batu tersebut (setelah ditransliterasikan):
Rasulullah dengan yang orang sahabi mereka (sekalian).
Asa pada Dewata Mulia Raya memberi hamba meneguhkan agama Islam.
Dengan benar bicara, derma mereka bagi sekalian hamba Dewata Mulia Raya.
Di benuaku ini pembantu agama RasuluLlah SallaLlahu alaihi wasallam raja mandalika yang benar bicara sebelah Dewata Mulia Raya di dalam bumi pebantu itu fardhu pada sekalian raja mandalika Islam menurut setitah Dewata Mulia Raya dengan benar.
Bicara berbajikan betul pebantu itu maka titah Seri Paduka Tuan menduduki tamra ini di benua Terengganu adi pertama ada Jumaat di bulan Rejab di tahun Saratan di sasanakala.
Baginda Rasulullah telah lalu tujuh ratus dua.
            Daripada kutipan di atas terlihat perkataan Dewata Mulia Raya masih digunakan walaupun yang dimaksud ialah Allah SWT. Beberapa perkataan lain, seperti: mandalika (ketua wilayah), berbajikan (kebajikan = kebaikan), tamra (perintah rasmi), dan sasanakala (masa perintah agama) memperlihatkan perkataan Sanskrit sudah semakin berkurang.
Berkenaan dengan aksara Jawi yang merupakan aksara Arab tersebut, aksara Persia telah menambahnya dengan empat huruf atau bunyi, iaitu p, ch, zh, dan g. Aksara Jawi mengambil huruf ch Persia menjadi c dan mengubahsuai g Persia dengan mengguna-kan titik di atas. Bunyi atau huruf p, ng, dan nya merupakan ciptaan bangsa Melayu sendiri. Aksara Jawi ini kemudian dilengkapkan dengan bunyi atau huruf v sejak 1987. Bandingkan aksara Arab, Persia, dan Jawi seperti yang diperlihatkan pada lampiran 3.
Kembali ke Pulau Sumatera, di Aceh ditemui pula sebuah nisan yang dinamai Batu Nisan Minye Tujuh. Batu nisan ini bertarikh 1380 M dan ditulis dengan tulisan India. Namun, bahasa yang digunakan merupakan gabungan bahasa Melayu, bahasa Sanskrit, dan bahasa Arab. Perhatikan transkripsinya seperti yang berikut ini:
hijrat nabi mungstapa yang prasida
tujoh ratus asta puluh sawarsa
haji catur dan dasa wara sukra
raja iman warda (?) rahmat Allah
gutra barubasa mpu hak kadah pasema
taruk tasih tanah samuha
ilahi ya rabbi Tuhan samuha
taruh dalam swarga Tuhan tatuha
Harun Aminurrashid mengutip terjemahan yang diberikan oleh C. Hooykaas tentang Batu Nisan Minye Tujuh di atas, sebagai berikut:
Setelah hijrah Nabi, kekasih yang telah wafat,
tujuh ratus delapan puluh satu tahun,
bulan Zulhijjah empat belas hari, hari Jumaat
raja iman rahmat Allah bagi Baginda (warda)
dari keluarga Barubasa mempunyai hak atas Kedah dan Pasai,
menarok di laut dan darat semesta (semua)
Ya Ilahi, ya Tuhanku semesta,
masuklah Baginda ke dalam syurga Tuhan.
Walaupun tarikh Batu Nisan Minye Tujuh ini terkemudian daripada Batu Bersurat Kuala Berang, ternyata bahasa Melayu pada Batu Bersurat Kuala Berang lebih maju (Harahap, 1992 : 14-17).
Jenis-jenis Sastra Melayu
Pantun
Pantun merupakan bentuk puisi asli Indonesia (Melayu). Namun, istilah pantun pernah menjadi perdebatan sebagai pengamat sastra ada pendapat yang menyatakan bahwa kata pantun berasal dari bahasa Jawa yang dikuatkan oleh adanya salah satu jenis puisi lisan Jawa yang mirip pantun yaitu parikan. Bentuk parikan dalam kesusasteraan Jawa bisa disejajarkan dengan bentuk pantun dalam kesusasteraan melayu. Dengan demikian, parikan bisa disejajarkan dengan pantun kilat atau karmina dalam puisi Melayu.
Pantun terbagi atas dua bagian, yaitu bagian sampiran dan isi. Sampiran (dua larik pertama) merupakan pengantar menuju isi pantun, yaitu pada larik berikutnya.
Berdasarkan maksud/isi/temanya pantun dibagi menjadi tiga kelompok yaitu pantun anak-anak, pantun remaja/dewasa, dan pantun orang tua. Masing-masing kelompok menunjukkan kekhasan tema sesuai dengan perilaku pemiliknya.
Pantun anak-anak
Pantun anak-anak menggambarkan dunia anak-anak yang biasanya berisi rasa senang dan sedih. Oleh karena itu, jenis pantun anak diabgi dua yaitu pantun bersuka cita dan pantun berduka cita.
                        Pantun remaja
Pantun remaja atau dewasa berisi kehidupan remaja/ dewasa. Tema cinta sangat dominan dalam pantun remaja/ dewasa. Oleh karena itu, H.C. Klinkert menyebut pantun sebagai minnezangen (lagu cinta kasih). Pantun remaja atau dewasa dibagi beberapa jenis, yaitu pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan/ percintaan, dan pantun perceraian/perpisahan.
Pantun orang tua
Pantun orang tua berisi pendidikan dan ajaran agama. Pantun jenis ini dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya pantun nasihat, pantun adat, pantun agama, pantun budi, pantun kepahlawanan, pantun kias, dan pantun peribahasa.
Pada zaman dahulu, bagi masyarakat Melayu peran pantun sangat penting. Selain dalam upacara adat, pantun sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, khususnya oleh orang tua. Sedangkan para remaja Melayu zaman dulu dituntut untuk menguasai pantun agar tidak menjadi abhan ejekan atau tertawaan dalam pergaulan, terutama dalam kesempatan berbalas pantun antara muda-mudi.
Contoh pantun:
Hanyut batang berlilit tali
Terdampar ia hingga seberang
Lihat bunda sudah kembali
Hati susah menjadi senang

Batang tebu berbuku-buku
Tebu dipotong dibagi-bagi
Menangis awak duduk di pintu
Melihat ayah dan ibu pergi

Ikan sepat dimasak berlada
Kutunggu digulai anak seberang
Jika tak dapat di masa muda
Kutunggu sampai beranak seorang

Parang ditetak ke batang sena
Belah buluh taruhlah temu
Barang dikerja takkan sempurna
Bila tak penuh menaruh ilmu
Karmina
Karmina merupakan salah satu bentuk puisi lama Melayu. Bentuk karmina seperti pantun, tetapi barisnya pendek (hanya terdiri dari dua baris) sehinga sering disebut sebagai pantun kilat atau pantun singkat. Karmina biasanya digunakan untuk menyampaikan sindiran ataupun ungkapan secara langsung.
Karmina Masa Kini
Karmina masa kini adalah karmina selayang pandang yang telah dimodifikasi atau telah mengalami perubahan. Hal ini terutama jelas terlihat pada larik (baris) kedua. Pada larik kedua, salah satu ciri karmina, yaitu memiliki jeda larik (biasanya ditandai dengan tanda koma), telah hilang. Salah satu ciri karmina yaitu memiliki jeda larik yang ditandai oleh koma (,). Namun, ciri tersebut tidak dipakai pada karmina masa kini.
Contoh Karmina :

Dahulu parang, sekarang besi
Dahulu sayang, sekarang benci

Sudah gaharu, cendana pula
Sudah tahu, bertanya pula

Pinggan tak retak, nasi tak dingin
Tuan tak hendak, kami tak ingin
Syair
Kata syair berasal dari bahasa Arab: sya’ara yang berarti menembang atau bertembang. Dalam kesusasteraan Arab, syi’r adalah satu bentuk puisi yang telah muncul sejak zaman pra-Islam dan berkembang menjadi satu bentuk puisi yang populer di kalangan orang Arab sejak zaman sebelum dan sesudah kedatangan agama Islam. Oleh karena itu, dalam kesusasteraan Arab dikenal syair zaman Jahiliah dan syair zaman Islam. Meskipun syair berasal dari bahasa Arab, tetap saja syair Melayu berbeda dengan syair sebagai puisi Arab. Bahkan, Hooykaas mengatakan bahwa “syair adalah bentuk puisi yang tumbuh dalam masyarakat Melayu, hanya saja namanya merupakan pinjaman dari bahasa Arab.
Menurut Hooykaas, asal-usul syair Indonesia bersumber dari satu tulisan yang tertua di Indonesia, yang juga dianggap sebagai syair paling tua dalam sejarah kesusasteraan Indonesia. Syair tersebut adalah syair berbentuk doa yang tertera disebuah nisan raja di Minye Tujoh, Aceh. Syair tersebut menggunakan bahasa campuran, yaitu bahasa Melayu Kuno, Sanskerta, dan Arab.  Bunyi syairnya adalah sebagai berikut.

Hijrat nabi mungstapa yang prasida
Tujuh ratus asta puluh sawarsa
Haji catur dan dasa warsa sukra
Raja iman warda rahmat-allah

Gutra barubasa mpu hak kedah pase ma
Taruk tasih tanah samuha
Ilahi ya rabbi tuhan samuha
Taruh dalam swarga tuhan

Syair tersebut dipahat di batu nisan bertarikh 781 Hijriah (1380 Masehi). Hal ini menunjukkan bahwa pada awal abad ke-14 syair sudah ada dalam kesusasteraan Melayu.
Beberapa jenis syair penting dalam kesusasteraan Melayu adalah sebagai berikut.
Syair Agama
Syair bercorak agama merupakan syair yang mula-mula dihasilkan. Syair bertema agama biasanya berisi ajaran tasawuf.
Syair Romantis
Syair romantis biasanya dibacakan dengan berlagu sehingga dapat memberi kesan yang menarik bagi pendengar. Sebagian cerita yang dikisahkan dalam syair jenis ini telah dipengaruhi oleh cerita panji dalam kesusasteraan Jawa.
Syair Sejarah
Sumber bahan cerita syair jenis ini adalah sejarah. Beberapa contoh syair jenis ini antara lain Syair Perang Banjarmasin, syair perang mangkasar, syair Singapura Dimakan Api, dan lain sebagainya.
Contoh Syair :

Ketahui olehmu hai anak dagang
Riaknya rencam ombaknya karang
Ikanpun banyak datang menyarang
Hendak membawa ke tengah sawang.

Baiklah perahu engkau perteguh,
Hasilkan pendapat dengan tali sauh,
Anginnya keras ombaknya cabuh.
Pulaunya jauh tempat berlabuh.
Gurindam
Gurindam adalah salah satu bentuk puisi lama Melayu yang terdiri atas dua larik, mempunyai irama akhir yang sama dan merupakan kesatuan yang utuh. Larik pertama berisi soal atau perjanjian, sedangkan larik kedua merupakan jawaban atau akibat dari perjanjian tersebut. Jumlah kata maupun suku kata tiap baris gurindam tidak ditentukan.
Gurindam umumnya berisi nasihat atau semacam kata-kata mutiara. Meskipun belum jelas dari mana sumber asli gurindam, sebagaian ahli dan peneliti sastra berpendapat bahwa gurindam merupakan bentuk puisi yang berasal dari India.
Gurindam Dua Belas
Gurindam yang terkenal adalah gurindam Dua Belas. Gurindam Dua Belas merupakan kumpulan gurindam yang dikarang oleh Raja Ali Haji dari Riau, salah seorang pengarang terkenal abad ke-19, sezaman dengan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Selain sebagai penyair, Ali Haji memang raja di Kerajaan Riau pada tahun 1844-1857.
Gurindam Dua Belas ditulis oleh Raja Ali Haji di Pulau penyengat, Riau. Pada tarikh 23 Rajab 1263 Hijriah atau 1847 Masehi ketika beliau berusia 38 tahun. Karya yang terdiri atas 12 pasal ini dikategorikan sebagai puisi didaktik (syi’r al irsyadi) karena berisi nasihat dan petunjuk menuju hidup yang diridhai Allah. Selain itu, terdapat pula pelajaran dasar ilmu tasawuf tentang mengenal “yang empat”, yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.
Contoh Gurindam Dua Belas
Ini gurindam pasal yang pertama :
Barang siapa tiada memegang agama
Sekali-kali tiada boleh dibilang nama

Barang siapa mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang makrifat

Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tegaknya tiada ia menyalah

Barang siapa mengenal diri
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri

Barang siapa mengenal dunia
Taulah ia barang yang terpedaya

Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudharat
                        Ini gurindam pasal yang kedua:
Barang siapa mengenal yang tersebut
Tahulah ia barang yang terpedaya

Barang siapa meninggalkan sembahyang
Seperti rumah tiada bertiang

Barang siapa meninggalkan puasa
Tidaklah mendapat dua termasa

Barang siapa meninggalkan zakat
Tiadalah hartanya beroleh berkat

Barang siapa meninggalkan haji
Tiada menyempurnakan janji
                        Ini gurindam pasal yang ketiga:
Apabila terpelihara mata
Sedikitlah cita-cita

Apabila terpelihara kuping
Khabat yang jahat tiadalah damping

Apabila terpelihara lidah
Niscaya dapat daripadanya faedah

Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan
Daripada segala berat dan ringan

Apabila perut terlalu penuh
Keluarlah fi’il yang tidak senonoh

Anggota tengah hendaklah ingat
Disitulah banyak orang yang hilang semangat

Hendaklah pelihara kaki
Daripada berjalan yang membawa rugi
                        Ini gurindam pasal yang keempat:
Hati itu kerajaan di dalam tubuh
Jikalau zalim segala anggota tubuh pun rubuh

Apabila dengki sudah bertanah
Datanglah daripadanya beberapa anak panah


Mengumpat dan memuji hendaklah pikir
Disitulah banyak yang tergelincir

Pekerjaanmarah jangan dibela
Nanti hilang akal di kepala

Jika sedikit pun berbuat bohong
Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung

Tanda orang yang amat celaka
Aib dirinya tiada ia sangka

Bakhil jangan diberi singgah
Itulah perompak yang amat gagah

Barang sudah besar
                        Janganlah kelakuannya membuat kasar

Barang siapa perkataan kotor
Mulutnya itu umpama ketur

Di mana tahu salah diri
Jika tidak ada orang lain yang berperi


Ini gurindam pasal yang kelima:
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa

Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
Sangat memeliharakan yang sia-sia

Jika hendak mengenal orang mulia
Lihatlah kepada kelakuan dia

Jika hendak mengenal orang yang berilmu
Bertanya dan belajar tiadalah jemu

Jika hendak mengenal orang yang berakal
Di dalam dunia mengambil bekal

Jika hendak mengeal orang yang baik perangai
Lihat pada ketika bercampur dengan ramai
Ini gurindam pasal yang keenam:
Cahari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat

Cahari olehmu akan guru
Yang boleh tahukan tiap seteru

Cahari olehmu akan isteri
Yang boleh menyerahkan diri

Cahari olehmu akan kawan
Pilih segala orang yang setiawan

Cahari olehmu akan abdi
Yang ada baik sedikit budi
Ini gurindam pasal yang ketujuh:
Apabila banyak berkata-kata
Di situlah jalan masuk dusta

Apabila banyak berlebih-lebihan suka
Itulah tanda hampirkan duka

Apabila kita kurang siasat,
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat.

Apabila anak tidak dilatih
Jika besar bapanya letih

Apabila banyak mecacat orang
Itulah tanda dirinya kurang

Apabila orang yang banyak tidur
Sia-sia sajalah umur

Apabila mendengar akan kabar khabar
Menerimanya itu hendaknya sabar

Apabila mendengar akan aduan
Membicarakannya itu hendaklah cemburuan

Apabila oerkataan yang lemah lembut
Lekaslah segala orang mengikut

Apabila perkataan yang amat kasar
Lekaslah orang sekalian gusar

Apabila pekerjaan yang amat besar
Tiada boleh orang berbuat onar
                        Ini gurindam pasal yang kedelapan:
Barang siapa khianat akan dirinya
Apalagi kepada lainnya.

Kepada dirinya ia aniaya
Orang itu jangan engkau percaya

Lidah suka membenarkan dirinya
Daripada yang lain dapat kesalahan
Daripada memuji diri hendaklah sabar
Biar daripada orang datangnya khabar

Orang yang suka menampakan jasa
Setengah daripadanya syirik mengaku kuasa

Kejahatan diri sembunyikan
Kebijakan diri diamkan

Keaiban orang jangan dibuka
Keaiban diri hendaklah sangka
Ini gurindam pasal yang kesembilan:
Tahu pekerjaan tak baik tetapi tetap dikerjakan
Bukannya manusia ia itulah syaitan

Kejahatan seorang perempuan tua
Itulah iblis punya penggawa

Kepada segala hamba-hamba raja
Di situlah  syaitan tempatnya manja

Kebanyakan orang yang muda-muda
Di situlah syaitan tempat bergoda

Perkumpulan laki-laki dengan perempuan
Di situlah syaitan punya jamuan

Adapun orang tua yang hemat
Syaitan tak suka membuat sahabat

Jika orang muda kuat berguru
Dengan syaitan jadi berseteru
Ini gurindam pasal yang kesepuluh:
Dengan bapa jangan durhaka
Supaya Allah tidak murka

Dengan ibu hendaklah hormat
Supaya badan dapat selamat

Dengan anak janganlah lalai
Supaya boleh naik ke tengah balai

Dengan isteri dan gundik janganlah alpa
Supaya kemaluan jangan menerpa

Dengan kawan hendaklah adil
Supaya tangannya jadi kafil
Ini gurindam padal yang kesebelas:
Hendaklah berjasa
Kepada yang sebangsa

Hendaklah jadi kepala
Buang perangai yang cela

Hendaklah memegang amanat
Buanglah khianat

Hendak dimalui
Jangan memalui

Hendak ramai
Murahkan perangai
Ini gurindam pasal yang kedua belas:
Raja mufakat dengan menteri
Seperti kebun berpagarkan duri

Betul hati kepada raja
Tanda jadi sebarang kerja

Hukum adil atas rakyat
Tanda raja boleh inayat

Kasihkan orang yang berilmu
Tanda rahmat atas dirimu

Hormat akan orang yang pandai
Tanda mengenal kasa dan cindai

Ingatkan dirinya mati
Itulah asal berbuat bakti


Akhirat itu terlalu nyata
Kepada hati yang tidak buta

Mantra
Mantra diyakini sebagai bentuk sastra lisan paling tua yang dimiliki oleh masyarakat Melayu. Mantra adalah salah satu jenis puisi lama Melayu yang diyakini mengandung kekuatan gaib dan kesaktian. Mantra bisa digolongkan ke dalam jenis puisi karena strukturnya mengandung unsur dan bercirikan puisi, yaitu memiliki rima (persamaan bunyi) dan irama saat dibacakan. Selain itu ada ciri lain yang menonjol dalam sebuah mantra, yaitu adanya pengulangan kata atau larik.
Fungsi mantra adalah untuk memengaruhi aalam semesta atau binatang. Mantra muncul karena ada keyakinan terhadap makhluk (hantu, jin, setan) serta benda-benda keramat dan sakti.

Mantra untuk memikat gadis pujaan:
Selasih di atas batu
Kasih engkau kepada aku
Benci engkau kepada orang.

Sekali penutup hati engkau dengan orang
Terbuka dengan aku
Tunduklah engkau kasih sayang
Sujud di bawah telapak kakiku
Dan lain-lain (Sugiarto, 2015 : 3-104).
Tokoh-tokoh dalam Sastra Melayu
Ibrahim bin syukri
Pada awal abad ke-19 di Patani terdapat sebuah karya berkenaan dengan Patani bertarikh 1838 M. Karya yang dianggap paling hampir dengan kenyataan tentang kerajaan Patani ini ditulis oleh Ibrahim bin Syukri bertajuk Sejarah Kerajaan Melayu Patani. Salah satu versi Hikayat Patani dikaji oleh A. Teeuw dan D.K. Wyatt. Bagian awal Hikayat Patani tersebut dapat dilihat seperti petikan yang berikut ini:

Bismillahi-rrahmani-rrahim
Inilah suatu kisah yang diceterakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri Patani Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana. Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa.
Petikan di atas memperlihatkan bahawa cara penceritaan lama, yaitu cara hikayat (sesuai dengan judul bukunya) masih berpengaruh. Hal yang amat ketara cara penceritaan hikayat, iaitu menggunakan permulaan ayat dengan perkataan: adapun, maka, hatta, syahdan. Penggunaan akhiran -an pada masa itu masih mengandungi makna yang berbeza dengan sekarang. Sebagai contoh: "... kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu". Maksud kerajaanlah ialah naik takhta sehingga maksud kelompok kata tersebut ialah "... naik takhtalah menggantikan ayahanda baginda itu."
Syaikh Daud Abdullah
Pada tahun yang sama juga, Syaikh Daud Abdullah menghasilkan buku bertajuk Furu'al-masa'il. Buku ini merupakan terjemahan daripada bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu. Banyak perkataan Arab dimasukkan dalam terjemahan ini bahkan strukturnya juga betul-betul menggunakan struktur Arab kerana ia diterjemahkan seayat demi seayat. Walau bagaimanapun, usaha menterjemahkan ke dalam bahasa Melayu ini perlulah dihargai kerana kelak perbendaharaan bahasa Melayu diperkaya oleh bahasa asing ini.
Abdullah Abdul Kadir Munshi
Abdullah Abdul Kadir Munshi atau lebih dikenali sebagai Abdullah Munshi (1796-1854 M) telah menghasilkan karya pertamanya pada tahun 1830 M bertajuk Syair Singapura Terbakar. Abdullah Munshi bukan sekadar memperlihatkan perkembangan bahasa Melayu tersebut melalui karya kesusasteraan malahan juga ia menyedari betapa pentingnya buku nahu bahasa Melayu. Baginya, nahu sesebuah bahasa bukanlah dapat menyelesaikan seratus peratus masalah bahasa. Hal ini lebih nyata lagi apabila nahu sesuatu bahasa dikaji oleh orang asing yang bahasa ibundanya bukan bahasa Melayu dan tujuan membuat kajian tersebut bukanlah berdasarkan kajian ilmiah melainkan kerana kepentingan tertentu. Ia melihat bahawa nahu bahasa Melayu yang ditulis oleh orang asing itu hanyalah merupakan pengubahsuaian nahu bahasa mereka sendiri yang cuba dipaksakan ke dalam bahasa Melayu. Itulah sebabnya ia mengatakan: Sebermula hendaklah engkau ketahui, janganlah tersalah faham. Maka jikalau ada nahu bahasa Melayu itu niscaya meringankan pekerjaan sahaja gunanya, jangan engkau sangkakan boleh menjadi pandai dalam pekerjaan karang-mengarang. Maka sungguhpun diletakkan hukumnya maka ada juga lagi beberapa perkataan yang tiada menurut hukum itu. Umpamanya jikalau seratus hukum itu barangkali tujuh puluh sahaja yang masuk dalam hukum itu, dan yang tiga puluh itu di luarnya.
Di samping itu, jika kita bandingkan bahasa Melayu sebelum Abdullah dan bahasa yang digunakan oleh Abdullah nyatalah ada perkembangannya. Perhatikan bahasa yang terdapat dalam petikan yang berikut ini:
Bahwa ini Kisah Pelayaran Abdullah Abdul Kadir Munshi kepada tarikh sanat 1253 tahun. Maka bahawa sesungguhnya kepada tahun itu adalah barang saudagar-saudagar orang China dan orang Yahudi yang duduk dalam negeri Singapura, kira-kira sepuluh dan dua belas orang, telah memberi sambutan dagangan kepada China sampan pukat empat buah, kira-kira empat lima puluh ribu ringgit banyaknya, akan dibawanya ke negeri Pahang dan Trengganu dan Kelantan, Patani dan Senggora.
Perkembangan bahasa Melayu yang diperlihatkan Abdullah dinyatakan oleh Li Chuan Siu sebagai "Menciptakan perkataan-perkataan atau ungkapan baru dalam bahasa Melayu untuk mempercakapkan hal-hal atau benda-benda baru yang timbul kerana pertemuan antara kebudayaan Timur dan Barat". Perkembangan bahasa yang dibawa oleh Abdullah tidaklah menghairankan kerana ia mendapat pendidikan Inggeris manakala sasterawan sebelumnya ramai yang mendapat pendidikan Arab.
Raja Ali Haji
Salah seorang di antara sasterawan yang sezaman dengan Abdullah Munshi tetapi mempunyai latar pendidikan yang berbeza ialah Raja Haji Ali ibni Raja Haji Ahmad (1809-1870 M). Raja Ali Haji yang berpendidikan Arab itu masih mengekalkan bahasa klasik yang banyak dipengaruhi oleh perkataan Arab dan struktur bahasa Arab. Perhatikan bahasa yang terdapat dalam petikan Tuhfat al-Nafis seperti yang berikut ini:
Bi-'smi'llahi'r-rahmani'r-rahim. Maka pada ketika di dalam Hijrat al-Nabi salla Allahu 'alaihi wasallam seribu dua ratus delapan puluh dua tahun dan pada tiga haribulan Syaaban yang maha besar dan berbangkitlah hatiku bahawa memperbuat kitab ini yang simpan, dan di dalamnya menyatakan silsilah dan perjalanan dan tawarikh dan segala khabar-khabar daripada kisah Raja-raja Melayu serta Bugis dan kepada segala anak-anak mereka itu. Dan aku namai akan dia 'Tuhfat al-Nafis' pada menyatakan kelakuan daripada Raja-raja Melayu serta Bugis. Padahal mengharapkan aku akan Allah yang mengampuni daripada tersalah pada segala tawarikh dan pada perjalanannya. Ya Tuhanku, perkenankan oleh-Mu akan pinta hamba-Mu intiha.
Walaupun Raja Ali Haji dapat dikatakan sezaman dengan Abdullah bin Abdul Kadir Munshi, tetapi bahasa mereka nampak jauh berbeza. Hal ini tidaklah menghairankan kerana mereka memiliki latar belakang pendidikan yang berbeza, kerjaya yang berbeza, dan lingkungan yang berbeza. Abdullah berpendidikan Inggeris, bekerja sebagai penterjemah bahasa Inggeris dan hidup di tengah-tengah masyarakat perdagangan di Singapura. Raja Ali Haji pula berpendidikan Arab, pendakwah, dan hidup di lingkungan istana di Pulau Penyengat, Riau.
Raja Ali Haji di samping menulis karya susastera beliau juga menulis nahu bahasa Melayu. Oleh kerana pengetahuan bahasa Arabnya tinggi maka nahu Melayu yang ditulisnya itu berdasarkan bahasa Arab. Tajuk buku tersebut ialah Bustanulkatibin bertarikh 1850 M. Walaupun nahu ini berdasarkan nahu bahasa Arab ia dianggap penting kerana buku inilah nahu bahasa Melayu pertama yang ditulis oleh orang Melayu
Di samping karya kesusasteraan dan nahu bahasa Melayu, Raja Ali Haji juga menghasilkan Kitab pengetahuan bahasa (1859 M), iaitu kamus bahasa Melayu. Buku ini sebenarnya tidak dapat dianggap sebagai kamus seratus peratus kerana bahagian awal bukunya ini membincangkan nahu bahasa Melayu secara ringkas dan sederhana (lihat Bab 5). Ia lebih sesuai dikatakan sebagai ensiklopedia. Walaupun tidak semua abjad ada di dalam kamus tersebut diakhiri sebahagian daripada perkataan berawalan ca ( c ) namun ensiklopedia ini, di samping erti perkataan disertakan juga penjelasan terhadap setiap perkataan termasuk penghuraian nahu bahasa Melayu walaupun berdasar-kan kaedah bahasa Arab.
Pangeran Muhammad Salleh
Pangeran Muhammad Salleh atau nama lengkapnya Pangeran Syahbandar Pangeran Muhammad Salleh Ibnu Pengiran Sharmayuda yang diperkirakan hidup di antara abad ke-18 hingga abad ke-19 telah meninggalkan satu karya yang bersejarah yang bernama Syair Rakis. Walaupun tanggal yang tepat penulisan Syair Rakis ini belum diketahui, tetapi bahasanya menunjukkan sedikit lain apabila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan oleh Raja Ali Haji dan Abdullah Munshi.
Bahasa yang terdapat di dalam Syair Rakis lebih tersusun dan pengaruh bahasa Arab tidak begitu ketara. Perhatikan bahasa yang digunakan di dalam Syair Rakis seperti yang berikut ini:
Bismillah itu mula karangan
Kisah rancana dagang buangan
Di gunung larangan asmara guna
Segenap desa pantai saujana
Membawa nasib untung sendiri
Masuk segenap desa dan negeri
Seperti burung lepas tangkapan
Bunga dan buah tiada dimakan
Sebut namaku dagang asmara
Bercarai (bercerai) dengan sanak saudara
Namaku Misa Panji Larangan
Sudah sekarang buang-buangan.
Syair ini lebih memperlihatkan berkurangnya pengaruh perkataan Arab di dalamnya. Jalan bahasanya juga lebih mudah difahami kerana ia sudah mengarah pada jalan bahasa Melayu yang sebenarnya. Perkataan rancana dan bercarai yang terdapat dalam petikan di atas berlaku, kemungkinan karena masalah pentransliterasian dari huruf Jawi ke huruf Rumi.
Munshi Muhammad Said
Munshi Muhammad Said ialah pengarang pertama surat kabar Jawi Peranakan, yaitu surat kabar Melayu yang pertama diterbitkan di Tanah Melayu (1876 M). Isi suratkhabar ini berkenaan dengan berita dalam dan luar negeri, rencana berkenaan dengan nasihat, dan juga iklan. Pada tahun 1880 M untuk pertama kalinya terbit iklan yang berbunyi: "Hikayat Abdullah telah dicap semula oleh Asiatic Society, siapa berhajat memesannya boleh berhubungan dengan pihak yang berkuasa Rumah Gambar Singapura".
Sejak munculnya surat khabar Jawi Peranakan ini muncullah pelbagai surat khabar sama ada diterbitkan di Singapura, di Pulau Pinang, dan di Perak. Suratkhabar ini melanjutkan tradisi pengaruh bahasa Arab dalam bahasa Melayu dan sedikit demi sedikit perkataan dan istilah bahasa Inggris pula mulai diperkenalkan (Harahap, 1992 : 31-34).


PENUTUP
Kesimpulan
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Budianta, 2013 : 3). Sedangkan arti Melayu dari perkataan “Mala” artinya “mula” dan “Yu” artinya “negeri”, seperti terdapat nama “Ganggayu” artinya negeri yang bermisbah (berasal) kepada kebesaran Gangga ; Langkuyu dan Klangkyu (Husny, 1986 : 14).
Bahasa Melayu adalah bahasa resmi tulis yang digunakan di istana istana dan dalam agama, seperti Bahasa Latin. Dan saat yang sama merupakan bahasa yang dipakai untuk menjalankan tugas sehari-hari, bahasa perdagangan, dan bahasa interaksi masyarakat di pasar dan pelabuhan, seperti Lingua Franca di Levant (Collins, 2005: 32).
Saran
Mari kita pupuk rasa cinta kita terhadap Bahasa persatuan kita, Bahasa Indonesia. Rengkuhlah cita dengan segenap hati dan usaha nyata dengan tetap melibatkan sejarah dan menghargai perjuangan para nenek moyang kita dahulu. Salah satu akar bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Bangga dan rawatlah dengan tulus dan ikhlas dalam rangka cinta tanah air, dalam rangka menjemput ridho Allah SWT.

 Daftar Pustaka

Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Budianta, Melani. 2013. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sugiarto, Eko. 2015. Mengenal Sastra Lama.Yogyakarta:Andi
Husny, T.H.M.Lah.1986. Butir-Butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Harahap, Darwis. 1992. Sejarah Pertumbuhan Bahasa Melayu. Pulau Pinang : Pusat Pengkajian Ilmu Kemanusiaan.




0 komentar:

Posting Komentar