Geistzeit
dalam Sastra
Karya
sastra, puisi, novel atau naskah drama, yaang memiliki seting masa sejarah
tertentu, seperti pertarungan Indonesia pada awal abad ke-19, saat mulai tumbuh
gagasan identitas bangsa, terbukti menjadi maha karya yang mencerahkan. Sebut
saja tetralogi Buru dan Pramoedya Ananta Toer, War and Peace karya Leo Tolstoy (1863), karya Conrad, In the Heart of Darkness (1905), atau novel semi biografi The Sun Also Rise Ernest Hemingway
(1926).
Kaum
sejarawan berkeyakinan penulis di atas sesungguhnya tidak pandai betul
menceritakan karakter dan konflik antarrokohnya, namun mampu menghidangkan
upaya petualangan pada Geistzeit atau jiwa zaman. Melalui romannya yang
fenomenal, Leo Tolstoy dengan realistis menggambarkan kemelut pernyerbuan
Napoleon ke Rusia. Sedang novel The Sun
Also Rises adalah novel semibiogrofi berlatar perang saudara di Spanyol. Demikian
juga Yasunari Kawabata pengarang Jepang tersohor, juga menciptakan novel yang menyelai
Geistzeit jiwa zaman.
Apabila
sebuah karya sastra tidak mengkisahkan zaman secara langsung sebagai
penggambaran keadaan, melainkan dideskripsikan dengan sublim mendalam melalui
kemelut batin tokoh-tokohnya, maka dengan kata lain Novel dan karya tersebut
bukan sepenuhnya karya fiksi, tapi sebuah dunia rekaan pengarang yang
membaurkan serpihan pengharapan, kenang kenagan pribadi-pribadi, dan juga
realitas sejarah yang jauh berjarak dari kenyataan. Peristiwa-peristiwa dalam
novel dengan berlapis kenangan. Pada tataran tertentu, hal itu boleh jadi sebagai
strategi estetik pengarang dalam menguraikan kerumitan latar sejarah yang
dialami tokoh-tokoh novelnya, sekaligus para pembaca diajak berdialektika dalam
renungan-renungan mereka.
Pramoedya
Ananta Toer, di dalam tetralogi Pulau Buru (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) memang terbukti menjadi
tafsir atas jiwa zaman, membicarakan sejarah nusantara semasa benih-benih
kebangsaan mulai bersemi, pada awal abat ke-19. Toko Minke dan Nyai Ontosoroh
ada di dalam putaran zaman yang paradoks, di mana kolonialisme sedang memuncak saat
ruh gerakan kesadaran membayangi, yakni arus pencerahan kemanusiaan. merekalah
benih-benih kebangsaan yang kelak terbukti ikut membuat badai gelombang kemerdekaan
di berbagai penjuru dunia.
Tidak
berlebihan jika menyebut tokoh utamanya adalah Sang Sejarah itu sendiri. Novel
Pulau Baru yang sebenarnya mengisaratkan paradok yang melekat pada kebudayaan
barat, yaitu kontradiksi antara universalis moderen, yang hendak memperluas
jangkauannya dengan senantiasa tidak mengkritik diri dan logika sistem
kapitalis yang cenderung melahirkan ragam dominasi.
Kritik
Pramoedya atas kolonialisme juga diserukan sebelumnya oleh pengarang prancis,
Victor Hugo, bahkan pengarang Amerika, Mark Twain, mempelopori liga anti
imperialisme. Seiring, pergolakan berkobar di mana-mana, masyarakat yang terjajah
mulai bangkit kesadaran berbangsanya, berbagai gerakan perlawanan bermunculan.
Novel
inspiratif, Max Havelaar (1860), karya Multatuli, mengiringi lahirnya arus
kesadaran baru tersebut, kisah tentang Saija dan Adinda hidup sekitar 40 tahun
sebelum Minke dan Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia. Dari Max Havelaar itu,
lahirlah kebijakan Politik Etis Belanda (1901), bersemangat reformasi, namun
tidak mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang menyertainya. Lantaran tujuannya
mengadaptasi kolonialsme pada ragam kapitalisme yang lebih terbuka, bukan
menggantikan penjajah dengan sistem lain, sehingga menimbulkan pertentangan,
baik yang pro maupun yang kontra atas klonialisme.
Novel
tetralogi Pulau Baru menarik untuk disandingkan dengan novel-novel yang
mengeksplorasi jiwa zaman yang sama, baik dari pengaran Indonesia lainnya
maupun pengarang luar. Bila Catherine van Moopes bertutur sudut pandang wanita
muda eropa yang tengah merumuskan jati diri dan pandangan antar bangsa, tokoh
Minke dan Nyai Ontosoroh juga bicara hal yang tak jauh beda, kedua tokoh rekaan
tersebut meski berbeda latar budaya danpsikologi, hidup dalam kurun waktu yang
sama.
Kedua
penyair ini mewartakan pentingnya memperjuangkan humanisme yang melampaui
batas-batas bangsa, dimana Emile dan Minke terlibat dalam situasi-situasi
pelik, serta dicekam prasangka prasangka rasial-kultural. Menariknya, kedua
sosok anak manusia muda, sama-sama menyinggung perihal perjuangan Multatuli
serta mengagumi sosok RA Kartini, yang rami diperbincangkan karena gagasan
emansipasinya.
Upaya
penyandingan sekaligus membandingkan novel-novel berlatar historis tersebut, tidak
begitu saja dapat membantu kita menghayati dan memahami sejarah kebangsaan
Indonesia, melainkan juga berpeluang menjernihkan dan mencerahkan. Demikian pula
tentu harapannya bila membaca novel-novel berlatar tragedi 65, baik Ahmad
Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk), Laila
Chudori ( Pulang) dll.
Karya
sastra, puisi, novel atau naskah drama, yaang memiliki seting masa sejarah
tertentu, seperti pertarungan Indonesia pada awal abad ke-19, saat mulai tumbuh
gagasan identitas bangsa, terbukti menjadi maha karya yang mencerahkan. Sebut
saja tetralogi Buru dan Pramoedya Ananta Toer, War and Peace karya Leo Tolstoy (1863), karya Conrad, In the Heart of Darkness (1905), atau novel semi biografi The Sun Also Rise Ernest Hemingway
(1926).
Kaum
sejarawan berkeyakinan penulis di atas sesungguhnya tidak pandai betul
menceritakan karakter dan konflik antarrokohnya, namun mampu menghidangkan
upaya petualangan pada Geistzeit atau jiwa zaman. Melalui romannya yang
fenomenal, Leo Tolstoy dengan realistis menggambarkan kemelut pernyerbuan
Napoleon ke Rusia. Sedang novel The Sun
Also Rises adalah novel semibiogrofi berlatar perang saudara di Spanyol. Demikian
juga Yasunari Kawabata pengarang Jepang tersohor, juga menciptakan novel yang menyelai
Geistzeit jiwa zaman.
Apabila
sebuah karya sastra tidak mengkisahkan zaman secara langsung sebagai
penggambaran keadaan, melainkan dideskripsikan dengan sublim mendalam melalui
kemelut batin tokoh-tokohnya, maka dengan kata lain Novel dan karya tersebut
bukan sepenuhnya karya fiksi, tapi sebuah dunia rekaan pengarang yang
membaurkan serpihan pengharapan, kenang kenagan pribadi-pribadi, dan juga
realitas sejarah yang jauh berjarak dari kenyataan. Peristiwa-peristiwa dalam
novel dengan berlapis kenangan. Pada tataran tertentu, hal itu boleh jadi sebagai
strategi estetik pengarang dalam menguraikan kerumitan latar sejarah yang
dialami tokoh-tokoh novelnya, sekaligus para pembaca diajak berdialektika dalam
renungan-renungan mereka.
Pramoedya
Ananta Toer, di dalam tetralogi Pulau Buru (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) memang terbukti menjadi
tafsir atas jiwa zaman, membicarakan sejarah nusantara semasa benih-benih
kebangsaan mulai bersemi, pada awal abat ke-19. Toko Minke dan Nyai Ontosoroh
ada di dalam putaran zaman yang paradoks, di mana kolonialisme sedang memuncak saat
ruh gerakan kesadaran membayangi, yakni arus pencerahan kemanusiaan. merekalah
benih-benih kebangsaan yang kelak terbukti ikut membuat badai gelombang kemerdekaan
di berbagai penjuru dunia.
Tidak
berlebihan jika menyebut tokoh utamanya adalah Sang Sejarah itu sendiri. Novel
Pulau Baru yang sebenarnya mengisaratkan paradok yang melekat pada kebudayaan
barat, yaitu kontradiksi antara universalis moderen, yang hendak memperluas
jangkauannya dengan senantiasa tidak mengkritik diri dan logika sistem
kapitalis yang cenderung melahirkan ragam dominasi.
Kritik
Pramoedya atas kolonialisme juga diserukan sebelumnya oleh pengarang prancis,
Victor Hugo, bahkan pengarang Amerika, Mark Twain, mempelopori liga anti
imperialisme. Seiring, pergolakan berkobar di mana-mana, masyarakat yang terjajah
mulai bangkit kesadaran berbangsanya, berbagai gerakan perlawanan bermunculan.
Novel
inspiratif, Max Havelaar (1860), karya Multatuli, mengiringi lahirnya arus
kesadaran baru tersebut, kisah tentang Saija dan Adinda hidup sekitar 40 tahun
sebelum Minke dan Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia. Dari Max Havelaar itu,
lahirlah kebijakan Politik Etis Belanda (1901), bersemangat reformasi, namun
tidak mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang menyertainya. Lantaran tujuannya
mengadaptasi kolonialsme pada ragam kapitalisme yang lebih terbuka, bukan
menggantikan penjajah dengan sistem lain, sehingga menimbulkan pertentangan,
baik yang pro maupun yang kontra atas klonialisme.
Novel
tetralogi Pulau Baru menarik untuk disandingkan dengan novel-novel yang
mengeksplorasi jiwa zaman yang sama, baik dari pengaran Indonesia lainnya
maupun pengarang luar. Bila Catherine van Moopes bertutur sudut pandang wanita
muda eropa yang tengah merumuskan jati diri dan pandangan antar bangsa, tokoh
Minke dan Nyai Ontosoroh juga bicara hal yang tak jauh beda, kedua tokoh rekaan
tersebut meski berbeda latar budaya danpsikologi, hidup dalam kurun waktu yang
sama.
Kedua
penyair ini mewartakan pentingnya memperjuangkan humanisme yang melampaui
batas-batas bangsa, dimana Emile dan Minke terlibat dalam situasi-situasi
pelik, serta dicekam prasangka prasangka rasial-kultural. Menariknya, kedua
sosok anak manusia muda, sama-sama menyinggung perihal perjuangan Multatuli
serta mengagumi sosok RA Kartini, yang rami diperbincangkan karena gagasan
emansipasinya.
Upaya
penyandingan sekaligus membandingkan novel-novel berlatar historis tersebut, tidak
begitu saja dapat membantu kita menghayati dan memahami sejarah kebangsaan
Indonesia, melainkan juga berpeluang menjernihkan dan mencerahkan. Demikian pula
tentu harapannya bila membaca novel-novel berlatar tragedi 65, baik Ahmad
Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk), Laila
Chudori ( Pulang) dll. [] TAN FA