Selasa, 24 November 2015

Geistzeit dalam Sastra |

Geistzeit dalam Sastra
Karya sastra, puisi, novel atau naskah drama, yaang memiliki seting masa sejarah tertentu, seperti pertarungan Indonesia pada awal abad ke-19, saat mulai tumbuh gagasan identitas bangsa, terbukti menjadi maha karya yang mencerahkan. Sebut saja tetralogi Buru dan Pramoedya Ananta Toer, War and Peace karya Leo Tolstoy (1863),  karya Conrad, In the Heart of Darkness (1905), atau novel semi biografi The Sun Also Rise Ernest Hemingway (1926).
Kaum sejarawan berkeyakinan penulis di atas sesungguhnya tidak pandai betul menceritakan karakter dan konflik antarrokohnya, namun mampu menghidangkan upaya petualangan pada Geistzeit atau jiwa zaman. Melalui romannya yang fenomenal, Leo Tolstoy dengan realistis menggambarkan kemelut pernyerbuan Napoleon ke Rusia. Sedang novel The Sun Also Rises adalah novel semibiogrofi berlatar perang saudara di Spanyol. Demikian juga Yasunari Kawabata pengarang Jepang tersohor, juga menciptakan novel yang menyelai Geistzeit jiwa zaman.
Apabila sebuah karya sastra tidak mengkisahkan zaman secara langsung sebagai penggambaran keadaan, melainkan dideskripsikan dengan sublim mendalam melalui kemelut batin tokoh-tokohnya, maka dengan kata lain Novel dan karya tersebut bukan sepenuhnya karya fiksi, tapi sebuah dunia rekaan pengarang yang membaurkan serpihan pengharapan, kenang kenagan pribadi-pribadi, dan juga realitas sejarah yang jauh berjarak dari kenyataan. Peristiwa-peristiwa dalam novel dengan berlapis kenangan. Pada tataran tertentu, hal itu boleh jadi sebagai strategi estetik pengarang dalam menguraikan kerumitan latar sejarah yang dialami tokoh-tokoh novelnya, sekaligus para pembaca diajak berdialektika dalam renungan-renungan mereka.
Pramoedya Ananta Toer, di dalam tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) memang terbukti menjadi tafsir atas jiwa zaman, membicarakan sejarah nusantara semasa benih-benih kebangsaan mulai bersemi, pada awal abat ke-19. Toko Minke dan Nyai Ontosoroh ada di dalam putaran zaman yang paradoks, di mana kolonialisme sedang memuncak saat ruh gerakan kesadaran membayangi, yakni arus pencerahan kemanusiaan. merekalah benih-benih kebangsaan yang kelak terbukti ikut membuat badai gelombang kemerdekaan di berbagai penjuru dunia.
Tidak berlebihan jika menyebut tokoh utamanya adalah Sang Sejarah itu sendiri. Novel Pulau Baru yang sebenarnya mengisaratkan paradok yang melekat pada kebudayaan barat, yaitu kontradiksi antara universalis moderen, yang hendak memperluas jangkauannya dengan senantiasa tidak mengkritik diri dan logika sistem kapitalis yang cenderung melahirkan ragam dominasi.
Kritik Pramoedya atas kolonialisme juga diserukan sebelumnya oleh pengarang prancis, Victor Hugo, bahkan pengarang Amerika, Mark Twain, mempelopori liga anti imperialisme. Seiring, pergolakan berkobar di mana-mana, masyarakat yang terjajah mulai bangkit kesadaran berbangsanya, berbagai gerakan perlawanan bermunculan.
Novel inspiratif, Max Havelaar (1860), karya Multatuli, mengiringi lahirnya arus kesadaran baru tersebut, kisah tentang Saija dan Adinda hidup sekitar 40 tahun sebelum Minke dan Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia. Dari Max Havelaar itu, lahirlah kebijakan Politik Etis Belanda (1901), bersemangat reformasi, namun tidak mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang menyertainya. Lantaran tujuannya mengadaptasi kolonialsme pada ragam kapitalisme yang lebih terbuka, bukan menggantikan penjajah dengan sistem lain, sehingga menimbulkan pertentangan, baik yang pro maupun yang kontra atas klonialisme.
Novel tetralogi Pulau Baru menarik untuk disandingkan dengan novel-novel yang mengeksplorasi jiwa zaman yang sama, baik dari pengaran Indonesia lainnya maupun pengarang luar. Bila Catherine van Moopes bertutur sudut pandang wanita muda eropa yang tengah merumuskan jati diri dan pandangan antar bangsa, tokoh Minke dan Nyai Ontosoroh juga bicara hal yang tak jauh beda, kedua tokoh rekaan tersebut meski berbeda latar budaya danpsikologi, hidup dalam kurun waktu yang sama.
Kedua penyair ini mewartakan pentingnya memperjuangkan humanisme yang melampaui batas-batas bangsa, dimana Emile dan Minke terlibat dalam situasi-situasi pelik, serta dicekam prasangka prasangka rasial-kultural. Menariknya, kedua sosok anak manusia muda, sama-sama menyinggung perihal perjuangan Multatuli serta mengagumi sosok RA Kartini, yang rami diperbincangkan karena gagasan emansipasinya.
Upaya penyandingan sekaligus membandingkan novel-novel berlatar historis tersebut, tidak begitu saja dapat membantu kita menghayati dan memahami sejarah kebangsaan Indonesia, melainkan juga berpeluang menjernihkan dan mencerahkan. Demikian pula tentu harapannya bila membaca novel-novel berlatar tragedi 65, baik Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk), Laila Chudori ( Pulang) dll.
Karya sastra, puisi, novel atau naskah drama, yaang memiliki seting masa sejarah tertentu, seperti pertarungan Indonesia pada awal abad ke-19, saat mulai tumbuh gagasan identitas bangsa, terbukti menjadi maha karya yang mencerahkan. Sebut saja tetralogi Buru dan Pramoedya Ananta Toer, War and Peace karya Leo Tolstoy (1863),  karya Conrad, In the Heart of Darkness (1905), atau novel semi biografi The Sun Also Rise Ernest Hemingway (1926).
Kaum sejarawan berkeyakinan penulis di atas sesungguhnya tidak pandai betul menceritakan karakter dan konflik antarrokohnya, namun mampu menghidangkan upaya petualangan pada Geistzeit atau jiwa zaman. Melalui romannya yang fenomenal, Leo Tolstoy dengan realistis menggambarkan kemelut pernyerbuan Napoleon ke Rusia. Sedang novel The Sun Also Rises adalah novel semibiogrofi berlatar perang saudara di Spanyol. Demikian juga Yasunari Kawabata pengarang Jepang tersohor, juga menciptakan novel yang menyelai Geistzeit jiwa zaman.
Apabila sebuah karya sastra tidak mengkisahkan zaman secara langsung sebagai penggambaran keadaan, melainkan dideskripsikan dengan sublim mendalam melalui kemelut batin tokoh-tokohnya, maka dengan kata lain Novel dan karya tersebut bukan sepenuhnya karya fiksi, tapi sebuah dunia rekaan pengarang yang membaurkan serpihan pengharapan, kenang kenagan pribadi-pribadi, dan juga realitas sejarah yang jauh berjarak dari kenyataan. Peristiwa-peristiwa dalam novel dengan berlapis kenangan. Pada tataran tertentu, hal itu boleh jadi sebagai strategi estetik pengarang dalam menguraikan kerumitan latar sejarah yang dialami tokoh-tokoh novelnya, sekaligus para pembaca diajak berdialektika dalam renungan-renungan mereka.
Pramoedya Ananta Toer, di dalam tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) memang terbukti menjadi tafsir atas jiwa zaman, membicarakan sejarah nusantara semasa benih-benih kebangsaan mulai bersemi, pada awal abat ke-19. Toko Minke dan Nyai Ontosoroh ada di dalam putaran zaman yang paradoks, di mana kolonialisme sedang memuncak saat ruh gerakan kesadaran membayangi, yakni arus pencerahan kemanusiaan. merekalah benih-benih kebangsaan yang kelak terbukti ikut membuat badai gelombang kemerdekaan di berbagai penjuru dunia.
Tidak berlebihan jika menyebut tokoh utamanya adalah Sang Sejarah itu sendiri. Novel Pulau Baru yang sebenarnya mengisaratkan paradok yang melekat pada kebudayaan barat, yaitu kontradiksi antara universalis moderen, yang hendak memperluas jangkauannya dengan senantiasa tidak mengkritik diri dan logika sistem kapitalis yang cenderung melahirkan ragam dominasi.
Kritik Pramoedya atas kolonialisme juga diserukan sebelumnya oleh pengarang prancis, Victor Hugo, bahkan pengarang Amerika, Mark Twain, mempelopori liga anti imperialisme. Seiring, pergolakan berkobar di mana-mana, masyarakat yang terjajah mulai bangkit kesadaran berbangsanya, berbagai gerakan perlawanan bermunculan.
Novel inspiratif, Max Havelaar (1860), karya Multatuli, mengiringi lahirnya arus kesadaran baru tersebut, kisah tentang Saija dan Adinda hidup sekitar 40 tahun sebelum Minke dan Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia. Dari Max Havelaar itu, lahirlah kebijakan Politik Etis Belanda (1901), bersemangat reformasi, namun tidak mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang menyertainya. Lantaran tujuannya mengadaptasi kolonialsme pada ragam kapitalisme yang lebih terbuka, bukan menggantikan penjajah dengan sistem lain, sehingga menimbulkan pertentangan, baik yang pro maupun yang kontra atas klonialisme.
Novel tetralogi Pulau Baru menarik untuk disandingkan dengan novel-novel yang mengeksplorasi jiwa zaman yang sama, baik dari pengaran Indonesia lainnya maupun pengarang luar. Bila Catherine van Moopes bertutur sudut pandang wanita muda eropa yang tengah merumuskan jati diri dan pandangan antar bangsa, tokoh Minke dan Nyai Ontosoroh juga bicara hal yang tak jauh beda, kedua tokoh rekaan tersebut meski berbeda latar budaya danpsikologi, hidup dalam kurun waktu yang sama.
Kedua penyair ini mewartakan pentingnya memperjuangkan humanisme yang melampaui batas-batas bangsa, dimana Emile dan Minke terlibat dalam situasi-situasi pelik, serta dicekam prasangka prasangka rasial-kultural. Menariknya, kedua sosok anak manusia muda, sama-sama menyinggung perihal perjuangan Multatuli serta mengagumi sosok RA Kartini, yang rami diperbincangkan karena gagasan emansipasinya.
Upaya penyandingan sekaligus membandingkan novel-novel berlatar historis tersebut, tidak begitu saja dapat membantu kita menghayati dan memahami sejarah kebangsaan Indonesia, melainkan juga berpeluang menjernihkan dan mencerahkan. Demikian pula tentu harapannya bila membaca novel-novel berlatar tragedi 65, baik Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk), Laila Chudori ( Pulang) dll. [] TAN FA

0 komentar:

Posting Komentar