Selasa, 24 November 2015

Menyinggung Kritik Sastra dalam Kebudayaan

Menyinggung Kritik Sastra dalam Kebudayaan
            Eagleton (1996:3) dalam pengantarnya di buku The Function of Criticsme, mengungkapkan bahwa semakin kesini, kritik sastra kehilangan suptansi fungsi sosial. Bagi Eagleton, kritik sastra hanya satu dari cabang persoalan industri buku atau sekadar penghayatan dalam lingkungan perguruan tinggi. Pandangan Engleton yang hampir dua dekade lalu, sekarang terjadi di Indonesia.
            Di Indonesia fungsi sosial kritik sastra hampir jauh dari masyarakat. Kritik sastra akademik yang diproduksi ribuan mahasiswa sastra seakan berhenti di perpustakaan kampus. Boro-boro masyarakat sastra, para pengarang yang karyanya dibahas pun mungkin tidak paham apa fungsi kritik itu terhadap perkembangan karier kepenulisan mereka. Sedang kritik sastra yang muncul di media massa kebanykan resensi yang cenderung seperti promosi untuk buku sastra terkait.
            Padahal, sudah ada fakta temuan Eagleton bahwa melalui kaca mata sejarah konsep modern mengenai kritik sastra sangat erat bila dikaitkan dengan kebangkitan publik liberal borjuis abad ke-18 di Inggris. Sastra masa itu, sanggup menolong gerakan emansipasi kelas menengah sebagai alat untuk memperoleh harga diri  serta  menyampaikan tuntutan-tuntutan manusiawi melawan negara absolut dan masyarakat kasta. Eagleton menguatkan pendapatnya dengan mengutip pandangan Hohendahl bahwa pada masa pencerahan konsep kritik tidak dapat dilepaskan dari lembaga lingkup publik. Diskusi sastra yang sebelumnya berperan sebagai bentuk pengesahan masyarakat istana di dalam ruang-ruang aristokratis kemudian menjadi suatu arena rintisan bagi diskusi politik dalam kelas-kelas menengah.
            Fakta yang ditunjukan Egleton dan Hohendahl ini menelurkan pandangan bahwa (1) kritik sastra tidak hanya berupa tulisan, tetapi juga diskusi-diskusi tentang karya sastra, dan (2) fungsi dari kritik sastra tidak berhenti pada lingkup ilmu sastra saja, tetapi dapat pula menggerakkan masyarakat dan membangun kebudayaanya. Muara dari kedua fakta tersebut adalah bahwa kritik sastra dapat berasal dari sebuah peristiwa kebudayaan. Dengan demikian, siapa pun boleh mengeluarkan kritik sastra tanpa harus menuliskanya sehingga (penulisan) sejarah sastra perlu meluaskan kerjanya tidak hanya pada peristiwa-peristiwa kebudayaan, tetapi juga perlu pula menelisik sudah sejauh mana fungsi kritik sastra dalam perkembangan kebudayaaan suatu masyarakat.
Supaya mengetahui korelasi kritik sastra dan perkembangan kebudayaan di Indonesia, polemik kebudayaan yang terjadi sebelum kemerdekaan dapat menjadi titik awal kajian. Polemik kebudayaan yang mahsyur terjadi sebelum Indonesia merdeka tidak dapat dilepaskan dari adanya kritik sastra terhadap karya Sanusi Pane ynag dianggap mengagungkan budaya Timur dan karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dianggap mewakili budaya Barat. Kritik sastra saat itu telah turut ambil bagian dalam perumusan awal bagaimana pembangunan kebudayaan di Indonesia akan dimulai.
Sejarah selanjutnya juga merekam perlakuan saling keritik antara Manikebu dan Lekra yang turut pula menggerakkan masyarakat untuk ikut merumuskan kebudayaan barunya yang lepas dari garis kekuasaan Orde Lama menuju Orde Baru. Pada posisi yang demikian tidak jelas apakah kritik sastra dimasuki atau masuk ke dalam ranah politik, tetapi secara implisit hal tadi menunjukan lahirnya gaya baru dalam kepenulisan karya sastra yang turut mempengaruhi kebudayaan masyarakat Orde Baru dalam dimensi humanisme universal.
            Pernah muncul pula perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan dekade 1980-an. Pada peristiwa tersbeut, satra dikritik dari sudut fungsi sosialnya. Kritik ini tentu menginginkan karya sastra yang membangun kebudayaan masyarakatnya dan tidak sekedar menghibur pembacanya untuk menghabiskan waktu luang. Tercatat juga di kejadian-kejadian kebudayaan lain tempat, kritik sastra muncul dan mengambil peran penting dalam pembanguna kebudayaan, seperti merebaknya sastra sufistik yang mulai mengerakkan kaum muslim kelas menengah.
            Paparan di atas hanyalah awal lintasan persinggungan antara kritik sastra dan perkembangan kebudayaan Indonesia sebagai salah satu jalan mengetahui perkembangan fungsi kritik satra di negeri ini.
            Jelas, kajian terhadap fungsi kritik sastra yang diambil dari pristiwa kebudayaan akan melengkapi pembicaraan sastra yang selama ini hanya berasal dari media masa yang tidak dapat selalu meliput seluruh peristiwa kebudayaan dan karya-karya akademik. Apa yang tidak boleh dilupakan ketika hendak menguraikan kritik sastra dalam pristiwa kebudayaan adalah faktor kekuasaan yang melatar belakangi setiap peristiwa kebuadayaan. Pada akhirnya kajian serupa tadi dapat membedakan ke arah mana wacana yang dibangun kritik sastra selama ini untuk kebudayaan Indonesia. [] TAN FA

0 komentar:

Posting Komentar