Menyinggung
Kritik Sastra dalam Kebudayaan
Eagleton (1996:3) dalam pengantarnya di buku The Function of Criticsme, mengungkapkan
bahwa semakin kesini, kritik sastra kehilangan suptansi fungsi sosial. Bagi Eagleton,
kritik sastra hanya satu dari cabang persoalan industri buku atau sekadar penghayatan
dalam lingkungan perguruan tinggi. Pandangan Engleton yang hampir dua dekade
lalu, sekarang terjadi di Indonesia.
Di Indonesia fungsi sosial kritik sastra hampir jauh dari
masyarakat. Kritik sastra akademik yang diproduksi ribuan mahasiswa sastra seakan
berhenti di perpustakaan kampus. Boro-boro
masyarakat sastra, para pengarang yang karyanya dibahas pun mungkin tidak paham
apa fungsi kritik itu terhadap perkembangan karier kepenulisan mereka. Sedang kritik
sastra yang muncul di media massa kebanykan resensi yang cenderung seperti
promosi untuk buku sastra terkait.
Padahal, sudah ada fakta temuan Eagleton bahwa melalui
kaca mata sejarah konsep modern mengenai kritik sastra sangat erat bila
dikaitkan dengan kebangkitan publik liberal borjuis abad ke-18 di Inggris. Sastra
masa itu, sanggup menolong gerakan emansipasi kelas menengah sebagai alat untuk
memperoleh harga diri serta menyampaikan tuntutan-tuntutan manusiawi
melawan negara absolut dan masyarakat kasta. Eagleton menguatkan pendapatnya
dengan mengutip pandangan Hohendahl bahwa pada masa pencerahan konsep kritik
tidak dapat dilepaskan dari lembaga lingkup publik. Diskusi sastra yang
sebelumnya berperan sebagai bentuk pengesahan masyarakat istana di dalam
ruang-ruang aristokratis kemudian menjadi suatu arena rintisan bagi diskusi
politik dalam kelas-kelas menengah.
Fakta yang ditunjukan Egleton dan Hohendahl ini menelurkan
pandangan bahwa (1) kritik sastra tidak hanya berupa tulisan, tetapi juga
diskusi-diskusi tentang karya sastra, dan (2) fungsi dari kritik sastra tidak
berhenti pada lingkup ilmu sastra saja, tetapi dapat pula menggerakkan
masyarakat dan membangun kebudayaanya. Muara dari kedua fakta tersebut adalah
bahwa kritik sastra dapat berasal dari sebuah peristiwa kebudayaan. Dengan demikian,
siapa pun boleh mengeluarkan kritik sastra tanpa harus menuliskanya sehingga
(penulisan) sejarah sastra perlu meluaskan kerjanya tidak hanya pada peristiwa-peristiwa
kebudayaan, tetapi juga perlu pula menelisik sudah sejauh mana fungsi kritik
sastra dalam perkembangan kebudayaaan suatu masyarakat.
Supaya
mengetahui korelasi kritik sastra dan perkembangan kebudayaan di Indonesia,
polemik kebudayaan yang terjadi sebelum kemerdekaan dapat menjadi titik awal
kajian. Polemik kebudayaan yang mahsyur terjadi sebelum Indonesia merdeka tidak
dapat dilepaskan dari adanya kritik sastra terhadap karya Sanusi Pane ynag
dianggap mengagungkan budaya Timur dan karya Sutan Takdir Alisjahbana yang
dianggap mewakili budaya Barat. Kritik sastra saat itu telah turut ambil bagian
dalam perumusan awal bagaimana pembangunan kebudayaan di Indonesia akan
dimulai.
Sejarah
selanjutnya juga merekam perlakuan saling keritik antara Manikebu dan Lekra
yang turut pula menggerakkan masyarakat untuk ikut merumuskan kebudayaan
barunya yang lepas dari garis kekuasaan Orde Lama menuju Orde Baru. Pada posisi
yang demikian tidak jelas apakah kritik sastra dimasuki atau masuk ke dalam
ranah politik, tetapi secara implisit hal tadi menunjukan lahirnya gaya baru
dalam kepenulisan karya sastra yang turut mempengaruhi kebudayaan masyarakat
Orde Baru dalam dimensi humanisme universal.
Pernah muncul pula perdebatan sastra kontekstual pada
pertengahan dekade 1980-an. Pada peristiwa tersbeut, satra dikritik dari sudut
fungsi sosialnya. Kritik ini tentu menginginkan karya sastra yang membangun
kebudayaan masyarakatnya dan tidak sekedar menghibur pembacanya untuk
menghabiskan waktu luang. Tercatat juga di kejadian-kejadian kebudayaan lain
tempat, kritik sastra muncul dan mengambil peran penting dalam pembanguna
kebudayaan, seperti merebaknya sastra sufistik yang mulai mengerakkan kaum
muslim kelas menengah.
Paparan di atas hanyalah awal lintasan persinggungan
antara kritik sastra dan perkembangan kebudayaan Indonesia sebagai salah satu
jalan mengetahui perkembangan fungsi kritik satra di negeri ini.
Jelas, kajian terhadap fungsi kritik sastra yang diambil
dari pristiwa kebudayaan akan melengkapi pembicaraan sastra yang selama ini
hanya berasal dari media masa yang tidak dapat selalu meliput seluruh peristiwa
kebudayaan dan karya-karya akademik. Apa yang tidak boleh dilupakan ketika
hendak menguraikan kritik sastra dalam pristiwa kebudayaan adalah faktor
kekuasaan yang melatar belakangi setiap peristiwa kebuadayaan. Pada akhirnya
kajian serupa tadi dapat membedakan ke arah mana wacana yang dibangun kritik sastra
selama ini untuk kebudayaan Indonesia. [] TAN FA
0 komentar:
Posting Komentar